Ngelanjutin cerita yang pertama ... (kalo yg blm sempat baca, simak di sini !). Ok, tanpa basa-basi langsung lanjut aja deh ....
Sepanjang hari Minggu itu aku masih dihantui rasa ketakutan. Aku tak
berani cerita ke Mama. Walaupun Mama sempat bertanya ada apa denganku, sebab
beberapa bulan terakhir ini di rumah di hadapan Mama aku telah terlihat lebih
ceria. Dua hari itu aku terlihat murung dan lebih banyak mengurung diri di
kamar.
Aku hanya menunggu Hari Senin, berharap Dian telah kembali masuk sekolah,
duduk di sampingku lagi, hilangkan ketakutanku dua hari itu, harapku. Aku tak
mampu meneleponnya, sms pun tidak. Dan aku juga tak berani sekedar bertanya ke
temen lain tentang kabar Dian, aku khawatir mereka akan memperolokkanku. Aku
menjadi begitu bodoh ...
Senin itu aku berangkat lebih awal berharap segera mendapat kabar tentang
Dian, walaupun aku tetap tak berani bertanya langsung. Saskia, Dinda dan
beberapa temen lain yang selama ini sering cari perhatiannya telah ke rumah
sakit tempat Dian dirawat. Tapi mereka tak mampu jelaskan Dian sakit apa,
menunggu diagnosis dokter kabarnya.
Senin itu Dian belum bisa masuk sekolah. Ah ... sebegitu parahkah
sakitnya? Deg ...deg ...deg jantungku terus berdetak panik sepanjang hari itu.
Aku ngga konsen sepanjang pelajaran di kelas. Aku merasa bersalah sebagai teman
sebangku aku tak lebih tahu tentang kondisi Dian sebenarnya dibanding teman2
yang lain. Padahal selama ini aku diam2 telah merasa ke-ge-eran dengan origami
bangaunya.
Aku coba ingat ke-PD-annya, kecuekannya, usilnya, candanya, senyumnya,
tawa lepasnya ...tapi tak mampu tutupi kegelisahan dan ketakutanku tentang
kondisinya saat itu.
Aku tetapkan niat, sore selepas pulang sekolah aku harus menjenguknya.
Memastikan kondisi Dian sebenarnya, sebab aku tak ingin lebih terlambat dan
yang jelas aku ingin luluhkan kegelisahan dan ketakutanku hampir tiga hari itu.
Akhirnya selepas Ashar aku pamit ke Mama, “Ma, aku mo ke rumah sakit ya,
bezuk temen”
“Tumben, emang siapa yang sakit? Sama siapa ke rumah sakitnya?” tanya
Mama mungkin agak keheranan aku pamit keluar rumah sebab keseharian aku emang
lebih merasa nyaman di rumah, membaca ato bantu2 Mama.
“Teman di kelas, sendiri aja Ma” jawabku.
“Kok sendiri? Ngga bareng temen2 sekelas?” tanya Mama kemudian.
Aku ngga menjawabnya, dan kucium tangan Mama, aku berangkat, “
Assalamu’alaikum ...berangkat dulu Ma”
“Wa’alaikum salam warahmatullaahi wabarakaatuh ...ya ati2 di jalan
sayang” jawab Mama melupakan jawaban pertanyaannya tadi.
Deg .....
Di depan kamar rawatnya aku termangu, tertegun. Ah ... malu, cemas,
takut, campur aduk. Ini pengalaman pertama, bukan saja bezuk teman sakit
sendiri tetapi juga pengalaman pertama aku merasakan campur aduk rasa seperti
ini.
Keranjang buah yang aku bawa sedari tadi mulai lembab oleh keringat
tanganku.Ku dekap erat, aku masih campur aduk rasa. Agak gemetar tanganku handle
pintu untuk membukanya.
Krieettt .... pintu kamar terbuka. Deg ... siapa yang menyambut?
“Eh ... temennya Dian ya De ?” sapanya. Siapa dia, mamanya kah ?
“Ee ...iya Tante” jawabku agak parau. Aku masih belum menguasai rasa
batinku yang sedari tadi campur aduk.
“Ooo ... maaf siapa namanya? Sendiri ya ? Oya, saya mamanya Dian”
sambungnya. Mama Dian terlihat anggun dengan baju kerudungnya. Sederhana tapi
terlihat elegan membalut wajahnya yang cukup cantik. Sepertinya garis wajah
Dian dominan dari mamanya.
“Vemia, tante !” jawabku.
“Ooo ... ini to De Vemia, berarti temen sebangku Dian ya?” sambungnya
ramah. Aku hanya mengangguk tersenyum.
“Silahkan duduk dulu De, tapi maaf Dian masih tidur” katanya
mempersilahkan aku duduk.
“Ngga papa tante, biarin istirahat dulu aja” kataku sambil mengambil
tempat duduk.
Deg ... deg .... masih saja degup jantungku belum mereda. Kusengajakan
pandanganku menyusuri seluruh ruangan bercat putih apel itu. Aku berusaha
menenangkan gemuruh jantungku. Kemudian pandanganku berhenti memandangi sosok
lelap di bangsal pembaringan ruangan itu. Dian tampak terlelap, wajahnya pias
pucat, tampak lemah. Selang oksigen bagai belalai panjang terpasang di
hidungnya. Layar monitor yang ada di situ tidak aku pahami menjelaskan apa.
Yang jelas, semua itu membuatku semakin khawatir. Sakit apakah Dian? Separah
apakah sakitnya hingga tubuhnya yang tampak lemah itu seperti tak menyisakan
keceriaan dan keusilannya selama ini. Mana ekspresinya yang selalu tersenyum
jahil? Mana semangatnya yang selalu menghibur? Oh ... Tuhan, kenapa Dian?
“Maaf tante kalo boleh tahu Dian sakit apa?” tanyaku pingin segera mendapat
jawaban.
Sebelum memberi jawaban, Mama Dian tampak menghela nafas agak berat.
“Begini De Vemia, sebenarnya sakit Dian udah lama. Kira2 sekitar satu
setengah tahun lalu. Awalnya Dian merasa pusing dan mual. Kami kira sakit
pusing biasa, tapi lama kelamaan sakitnya seperti tak tertahankan. Akhirnya
kami bawa ke dokter dan dijelaskan Dian kena kanker otak” jelas Mama Dian
panjang.
Deg ... kembali jantungku seperti tersentak. Kanker otak ? Jawaban atas
pertanyaan yang menggelayut selama ini malah mengagetkanku sendiri. Keranjang
buah yang sedari tadi tetap ku bekap, terasa semakin lembab oleh keringat
tanganku. Dan tanganku serasa bergetar, seperti sudah tak kuat menahannya. Aku
tak mau getaran tanganku terlihat oleh Mama Dian. Dengan segera aku letakkan keranjang
buah tadi ke meja terdekat.
“Dian kami pindahkan sekolahnya agar lebih deket dengan rumah sakit yang
mempunyai peralatan lebih lengkap” sambung Mama Dian.
“Seberapa kondisi Dian tante” tanyaku kuatir.
“Menurut dokter, kankernya sudah stadium 3. Biasanya relatif sulit
penyembuhannya. Mungkin saja ....” katanya tertahan. Aku penasaran dan semakin
ketakutan.
“Mungkin Dian sudah tidak punya banyak waktu lagi. Dalam waktu dekat Dian
akan kembali kepada-Nya” sambungnya.
“Tidak tante, Dian pasti sembuh. Kan Dian selalu bersemangat” kataku
meyakinkan diri. Entah kekuatan darimana saat ini aku mampu berbicara lebih
panjang dengan orang lain. Ada bayang ketakutan aku kembali kehilangan orang
yang berarti dalam catatan hidupku setelah kehilangan Papa. Walaupun tidak ada
ikatan apa2 antara aku dengan Dian. Tapi saat itu ketakutan itu tak bisa aku
tahan.
Ku lihat, Mama Dian mengusap sebutir air mata yang hampir jatuh. Lalu
beliau tersenyum :
“de Vemia benar, semoga Dian bisa sembuh. Tak ada yang menghalangi Kuasa
Allah jika menyembuhkannya” sambungnya menguatkan diri.
“Oya, sebentar mau tante cariin minum dulu ya” kata Mama Dian kemudian.
“Ngga usah tante, ngga perlu repot2” jawabku basa-basi.
“Udah ngga papa, sekalian tante pingin beli sesuatu di luar, mumpung Dian
masih tidur, tolong temenin Dian dulu ya, maaf lho” katanya dengan tetap nada
ramah.
Sesaat sebelum Mama deian keluar ruangan, matanya tertuju ke benda di
atas meja tempat aku meletakkan keranjang buah tadi. Ada origami bangau warna
pink. Kali ini tidak dari kertas seperti biasanya. Kertasnya lebih mengkilap,
lebih rapi.
“Oya, tante hampir lupa, Dian tadi bilang kalo De Vemia datang origami
itu mau dikasihkan ke De Vemia. Sengaja dari rumah minta dibawain itu, Dian
sendiri yang buat. Ambil aja !” Mama Dian menjelaskan yang tak urung
mengagetkanku.
Aku ambil origami pink itu. Aku tertegun memandanginya, kenapa, apa
artinya ... aku penasaran menunggu jawaban pertanyaanku ini. Tapi orang yang
aku harap bisa menjelaskan kini terlelap lemah.
Krieett ... pintu kamar rawat itu dibuka. Hampir aku tak mempedulikan
Mama Dian keluar kamar, hingga beliau pamit, “Tante tinggal bentar ya De”
“I ...iiya Tante” jawabku agak terkaget, agak malu rasanya.
Ruangan kamar itu menjadi sunyi. Aku seperti sendiri sebab Dian masih
tampak terlelap pias. Perlahan aku mendekat ke samping pembaringan Dian. Sesaat
aku pandangi wajahnya, getir aku mengingat sakitnya : Kanker Stadium 3 !
Sebenarnya aku ngga terlalu paham tentang penyakit ini, tapi kekhawatiran
Mama Dian tentang kemungkinan hidup Dian yang mungkin sudah tidak lama lagi,
tak urung membuatku ikut takut. Aku menggigit bibir sendiri menahan getir tadi.
Perlahan air mataku menetes. Tanganku menutup mulut kuatir suara tangisku
terdengar. Entah, air mataku semakin deras mengalir. Kakiku terasa gemetar tak
kuat menopang tubuhku. Aku duduk di kursi tepat disamping pembaringan Dian.
Tergugu aku membayangkan sahabat terbaikku itu umurnya mungkin tinggal
menunggu bulan, hari, jam, menit bahkan detiknya dari sekarang. Aku masih sesenggukan
sendiri. Tangan kiriku masih memegang origami bangau pink yang dititipkan Mama
Dian sebelumnya. Aku beralih memandangi origami itu, apa artinya warna pink
yang pingin disampaikan ke aku, kenapa kertasnya kali ini berbeda, kenapa dalam
sakitnya Dian masih berusaha memberikan origami ini ke aku ...pertanyaan2 itu
belum menemukan jawaban.
“Hei ... kenapa nangis? Di sini dilarang, tau !” suara itu mengagetkanku.
Ternyata itu suara Dian yang sudah terbangun. Belum berakhir kekagetanku, aku
rasakan kehangatan menjalariku. Semakin kaget. Air mataku diseka oleh tangannya
yang pucat. Aku semakin gemetar ...
“Ah ...ehm maaf !” aku bergetar menjawab. Buru2 aku seka sisa air mata
yang masih mengalir.
“Sori aku tidur tadi, dah lama?” tanyanya lirih.
“Lumayan” jawabku.
“Sendirian?, Mamaku mana?” sambungnya kemudian.
“Iya, sendiri. Mamamu keluar sebentar katanya mo beli sesuatu” jawabku
menerangkan.
Sesaat kami berdua terdiam, bingung aku mau bicara apa lagi. Aku tak
sanggup menatap matanya yang sayu. Sepertinya Dian memperhatikanku, aku merasa
salah tingkah, tapi masih terdiam.
“Oh ..ya makasih origaminya” kataku memecah keheningan, sambil aku
perlihatkan origami bangau pink di tanganku. Aku masih belum berani beradu
pandangan dengannya.
“Semoga kamu seneng Ve” jawabnya, sepertinya pandangannya masih
memperhatikanku.
“Ve, untuk warna pink ini aku berusaha membuatnya beda dibanding yang
sebelumnya. Tempo hari aku ragu pingin menyampaikannya ke kamu, sengaja aku
simpan di kamar. Entah ini waktu dan tempat yang pas ngga aku memberikannya ke
kamu di sini” paparnya panjang. Aku beranikan diri menatap wajahnya.
“Kenapa?” tanyaku lirih agak bergetar.
“Aku takut terlambat ...” kalimatnya seperti tertahan. Aku semakin lekat
memandang wajahnya.
“Aku ingin dia terbang ke hatimu, bawakan hatiku” sambungnya dengan tetap
menatap pandanganku. Tangan Dian bergerak memegang tanganku yang memegang
origami pink itu.
Deg ....
Splash !! ... Selaksa ada guyuran air menyiram tubuhku. Dan aku seperti
terbang melambung ke gugusan Galaksi Andromeda .... Aku tak mampu berkata,
bahkan aku menunduk. Kembali campur aduk rasa batinku. Aku berusaha menenangkan
diriku sendiri. Aku berusaha kembali membumi.
“Kamu tak perlu menjawab apa2 Ve, tapi makasih telah memberi waktu aku
mengatakan ini” katanya kemudian seperti memahami kebingungan perasaanku.
Sebelumnya dan sampai saat itu sebenarnya aku tak ingin berharap lebih
terhadapnya. Tapi saat itu, satu sisi tak bisa aku pungkiri kecemasanku atas
penyakitnya, tapi satu sisi aku jelas melambung mendengar kalimatnya.
“Aku takut terlambat, sebab ...”katanya mengulang kalimat sebelumnya.
Sebelum melanjutkan kalimatnya segera aku potong :
“Stop! Jangan ngomong seperti itu ...”kataku lebih karena kecemasanku
terhadapnya.
Sesaat kami sama2 kembali terdiam, sibuk dengan pikiran masing2.
“Dian, boleh tanya sesuatu ngga?” tanyaku agak ragu. Dian kembali
menatapku tanpa menjawab.
“Sebelum kamu pingsan di sekolah kemarin, aku menemukan origami bangau
abu2 yang terjatuh dari dalam tasmu. Apa itu memberi firasat sakitmu ini ...?”
tanyaku masih dengan nada ragu.
Dian tidak menjawab, tetapi malah tersenyum tengil seperti selama ini di
kelas. Mungkin bisa jadi Dian seperti pingin tertawa terbahak, membuatku
semakin penasaran mendengar jawabnya.
“Bener ngga Dian?” tanyaku mengejar jawabannya. Bener Dian malah tertawa
agak tertahan tidak seperti biasanya.
Krieettt ... pintu ruang kamar dibuka. Aku agak kaget mendengarnya.
“Maaf lama ya De? Agak ngantri tadi” kata Mama Dian sambil masuk ke ruang
kamar mendekat ke kami, memutus jawaban penasaranku.
“Ough ... ngga papa Tante” jawabku basa-basi.
“Lho kamu dah bangun ya, malah dah ketawa gitu” sambung Mama Dian
menghampiri.
“Ya jelas dah bangun gini kok Ma, mata juga dah melek lebar gini masa mo
dibilang masih tidur” jawab Dian kumat tengil seperti biasanya.
“Ih, kamu ini lagi sakit tetep aja tengil gitu” kata Mama Dian tampak
gemes dengan polah anaknya itu.
Dan kami tertawa bersama. Aku merasa nyaman, sangat nyaman menikmati
suasana saat itu. Selama ini aku membiarkan diriku larut dalam kesedihan
ditinggal Papa. Bahkan ke Mama pun aku jarang merasakan kehangatan seperti itu.
Bukan karena Mama, tapi aku yang selalu menutup diri. Mama mungkin sudah habis
akal berusaha membuatku kembali ceria. Aku merasa berdosa kepadanya. Makasih
Dian dan mamanya yang mengembalikan rasa bahagiaku saat itu ....
TO BE CONTINUED ... lagi deh, sabar ya nunggu lanjutannya sb aku harus semedi dulu