06.24

Surat dari Ibu

             Kembalilah sayang, sebelum benar matahari berpulang. Tinggal menyisakan senja senyap di kejauhan. Menanggalkan kering kerontang tanah penghabisan. Menyesapkan derit angin yang melaju tak bertuan.

                Kembalilah sayang, lekas saat gigil dingin mulai merengkuhmu.  Kesiur angin siap mengiringi langkahmu, dalam petak-petak kecil jalanan yang engkau lewati. Dan semburat langit nanti telah tiada.


                Kembalilah anakku. Di sinipun ibu tetap merapal do’a. Masih setia merajut mimpi-mimpi peraduanmu dulu. Menjadi penyokong setiap asamu. Ibu mesti tetap menunggu dengan setampuk kebahagiaanmu.

06.23

Nanti


                Pun sampai nanti ajal menjemput, daku takkan pernah menghamba. Mengiba pada satu frase yang kau sebut rasa. Apalah nanti orang menyebut? Tak hirau daku akannya. Usahlah kau terka, nanti-nanti hikayat ini tetap adanya. Sedia  kala.

                Pun sampai nanti pekuburanku menanti, daku tetap takkan berpaling dari satu titik ini. Apalah nanti orang menghina?  Tak cemas daku akannya. Pada akhirnya nanti kau akan tetap mengerti, hikayat ini tetap adanya. Seperti mula.

16.19

ORIGAMI ABU-ABU (3-TAMAT SEMENTARA)

Setelah sekian aku tertunda akhirnya perlu 'memaksa' diri untuk melanjukan tulisan ini. Ternyata banyak yang penasaran n nanya kapan kelanjutannya hehe (jadi sedikit tambah PD). Lansung aja deh disimak ...eits yang belum baca cerita sebelumnya bisa disimak ini dulu : Bagian Satu dan Bagian Dua 
-----------------------------------------------------

Pagi. Aku masih berbaring di ranjangku. Tidak, aku tidak mengantuk sama sekali. Aku hanya ingin berbaring lebih lama lagi. Bermimpi lebih lama lagi. Bermimpi tentang semuanya, aku, Dian, dan origami bangaunya. Rasanya seperti mimpi saja aku mengalami hal-hal yang mampu mengubah hidupku yang selalu kaku. Mimpi bertemu Dian di hari itu. Aku tersenyum sendiri.

Kini aku membayangkan lagi. Aku masih mengingat betul setiap kata-kata yang dia ucapkan di rumah sakit beberapa hari yang lalu. Kata-kata yang sedemikian bisa membekukanku dalam sekejap, membuatku berhenti berkata-kata. Bahkan, mampu membuatku (dengan sejenak) melupakan kecemasanku akan penyakit yang dideranya. Aku baru menyadari, terkadang hanya dengan kata-kata, kita bisa merubah segalanya.Semuanya, termasuk perasaanku.

Ah.. se-klise itukah perasaanku? Bukankah kemarin-kemarin perasaan itu hanyalah perasaan seorang teman sebangku yang merasa khawatir temannya sakit? Bukankah hanya perasaan berterima kasih atas segala sikapnya terhadapku, atas kepeduliannya, atas keramahan, dan atas setiap origami burung bangau yang khusus dia  buat untukku? Hanya sekedar ‘itu’ kan?

Entah sejak kapan aku mulai menyadari perasaan ini bukan hanya sekedar teman, ah.. aku tidak bisa menjelaskannya. Sejak kapan coba aku selalu bahagia setiap menyimpan origami pemberiannya di kotak khusus. Lalu, nanti tersenyum-senyum sendiri setiap mengingat setiap arti dari warna burung bangau tersebut. Ah... kalau tak salah Dian memberikanku yang warna hijau saat berkenalan dulu. Origami bangau itulah yang membawakan pesan perkenalan darinya. Origami yang menjadi kunci untuk membuka hatiku.

Aku tersenyum lagi. Hei! Ini senyuman keberapa kali sejak Papa meninggal? Bukankah aku selalu murung sejak kematian papa dulu? Aku selalu mengurung diri dan menjauhi teman-teman di kelasku. Entahlah… setidaknya aku tahu jawaban dari pertanyaan siapakah yang mampu membuatku tersenyum lagi. Siapa lagi coba kalau bukan Dian dan semua origami buatannya.


Aku melihat jam weker di samping tempat tidurku. Ah.. sudah hampir terlambat untuk bersiap-siap. Aku bergegas mandi dan menyiapkan baju terbaikku. Kurang dari sepuluh menit aku sudah rapi dengan kemeja hijau toscaku, cardigan warna putih, dan sepatu kets warna senada dengan kemejaku. Ini hari Minggu dan aku akan menjenguk Dian di rumah sakit. Sebenarnya sih, untuk memenuhi janjiku dengan Mamanya Dian tempo hari. Sederhana saja, hanya memintaku menemani Dian.

                                                                 ******
Jujur, aku kurang menyukai rumah sakit. Baik bau obat antiseptiknya, erangan pasien yang kesakitan, atau tatapan nanar dari keluarga pasien. Tatapan itu seakan memperlihatkan harapan yang perlahan hilang. Tatapan yang mrnyiratkan bahwa inilah waktunya untuk berpamitan dengan orang yang disayang.

Tapi, tidak untuk Dian. Aku yakin, meskipun ia sakit, ia takkan memasang tatapan tadi. Dian yang kukenal selalu terlihat ceria dan menganggap semuanya akan baik-baik saja. Mana mungkin dia akan memasang wajah seperti itu bukan?

Suara sepatu ketsku berbunyi mengiringi langkahku di lorong rumah sakit ini. Aku terus berjalan. Aku ingin segera menemui Dian dan menemaninya. Tapi, langkahku terhenti di depan ruang inap Dian. Entah, ada perasaan gugup dan malu saat aku hendak membuka knop kamar itu.

Tepat sebelum aku berhasil memmegang gagang pintu, pintunya sudah terbuka sendiri. Kali ini bukan Mamanya Dian, melainkan dokter dan suster-susternya. Aku agak menyingkir dari depan pintu untuk memberikan jalan bagi mereka. Lagipula,suster itu mendorong troli berisikan obat-obatan dan jarum suntik. Mungkin selesai memeriksa kesehatan Dian.

Menyadari aku masih termangu di depan pintu, Mamanya Dian menyapaku,” Eeh.. Nak Vemi! Ayo sini masuk, udah lama ya?” Aku tersadar dari lamunanku dan tersenyum malu. 

“Engg…enggak kok Tante. Barusan aja datang kok.”

Aku kembali mengenali setiap sudut ruangan ini. Masih sama seperti kemarin. Tapi setidaknya, aku merasakan suasana yang berbeda. Setidaknya tidak ada lagi perasaan cemas itu. Itu  hanya akan menambah kekhawatiranku. Lagipula, Tante memberitahukanku kemarin, untuk tidak memasang wajah cemas agar Dian tidak merasa bersalah telah membuat orang-orang di sekitarnya cemas.


Ah..lihat! Apalagi yang harus dicemaskan? Dian terlihat baik-baik saja. Malah lebih baik daripada yang kukira.Yaah…meskipun raut mukanya terlihat capek, tapi setidaknya Dian sudah tersenyum ramah seperti biasanya.

“Hai?!” Sapa Dian ragu saat aku mendekatinya.

“Oh..Eum hai juga Di. Oh ya gimana kabarmu?” sapaku balik dengan canggung.

“Apa ya? Rahasia dong.” Jawab Dian dengan menjulurkan lidahnya. Sikap usil Dian muncul lagi.

“Ish..jangan gitulah sama cewek Di. Usil terus dari dulu kamu tuh ya?” kali ini mamanya Dian yang membalas keusilannya Dian sambil mebmbawakan kursi lipat untukku duduk. Diannya sih hanya memasang muka tak bersalah. Aku? Hanya bias tertawa kecil melihat Dian dimarahi mamanya.


“Ohya nih Ve! Origami hari ini, warna merah. Merah artinya semangat, aku ingin….”

“Dia terbang ke hatimu biar kamu semangat terus” ujarku memotong kata-katanya sambil tersenyum kecil.

Wajah Dian langsung memerah semerah origami bangau buatannya.” Bukan gitu yee.. Aku awalnya mau bilang artinya keberuntungan biar kamu enggak sial kok!” bantah Dian untuk menutupi rasa malunya.

“Ciee…kok malu-malu gitu Di?! Bukannya kamu yang bilang sendiri ya kalo merah artinya semangat? Kan Vemi cuma nglanjutin kata-katamu. Kamu ini gimana sih? Jadi orang kok plin plan gitu?” tawa Mama Dian terdengar setelah melihat sikap malu-malu anak semata wayangnya itu.

Aku kembali tersenyum melihat rona wajah Dian yang semakin memerah setelah diledek mamanya sendiri. Mungkin, wajahku juga memerah seperti Dian kali ini. Entahlah, setidaknya aku selalu menikmati suasana hangat seperti ini.

Aku melihat origami bangau merah yang ada di tanganku. Semangat? Ah…harusnya yang mengucapkan itu aku, bukannya Dian. Dalam sakitnya, bahkan ia sempat meimikirkan untuk membuat origami ini untukku. Hanya untuk membuatku semangat menjalani hidup lagi. Mataku mulai berkaca-kaca terharu. Tapi, dengan segera aku menyekanya. Tidak! Kali ini tidak boleh ada tangis ysng jatuh. Bukannya Dian yang memintaku khusus untuk selalu semangat? Ya, pasti selalu ada harapan esok pagi. Harapan bahwa Dian akan benar-benar sembuh.


Tepat saat aku hendak pamit untuk pulang, tepat saat itulah Dian benar-benar mengungkapkan perasaannya.

Dian meminta waktu dariku barang lima menit untuk membicarakannya. Bahkan Dian meminta izin ke mamanya agar bias hanya berdua denganku. Mamanya diminta keluar sebentar. Ini benar-benar serius, katanya.

Sambil tersenyum usil dan menjentikkan sebelah matanya kepadaku, Tante pamit keluar dari kamar. 

“Lihat Ve, ekspresinya serius sekali. Ini jarang lho! Sepertinya benar-benar serius deh” bisik Tante padaku. Eh? Aku malah tambah kikuk.

Senyap sesaat setelah pintu berdebam ditutup oleh Mamanya Dian. Aku hanya menundukkan pandanganku, berusaha menutupi rasa gugupku dengan sibuk mendentum-dentumkan sepatu ke lantai. Sementara Dian? Dian hanya menatap langit sore ini dari balik jendela kamar inapnya. Dia berkali-kali mendesah panjang, berusaha menghitung situasi dan waktu yang tepat untuk berbicara, mungkin. Setelah hitungan entah keberapa Dian mendesah panjang, ia menatapku yang tertunduk.

“Ve, aku enggak tahu ini waktu yang tepat atau bukan, tapi aku mau ngomong sesuatu sama kamu” ujar Dian tertahan.

Aku tetap diam mendengarkan.

“Mungkin ini susah buat kamu mahamin, tapi aku ingin kamu…”

Itu jelas kalimat basa-basi. Sejak kapan coba aku merasa susah dengan sikapnya, dengan ucapannya. Seingatku, terakhir kali aku merasa susah, itu saat pertama kali Dian datang dan duduk sebangku denganku. Hanya itu. Selanjutnya aku tak pernah ambil pusing dengan semua tingkahnya.

“Aku ingin kamu enggak menjengukku lagi, apapun itu alasannya.”
Eh?! Aku mengernyitkan alis, memandangnya dengan tatapan heran.

“Aku tahu Ve, kamu pasti diminta Mama buat jengukin aku terus. Tapi, jujur aku enggak butuh kamu jengukin. Aku enggak cukup penting untuk dijenguk. Lagian kan, kamu punya banyak tugas di sekolah bukan? Kasihan kamunya kalo terbebani dengan permintaan Mama.”

Aku kehilangan kata sebentar. Tidak! Aku tidak pernah merasa terbebani dengan permintaan tante. Aku malah senang jika aku bias berada di dekat seseorang yang mampu membuatku nyaman. Lagipula, aku hanya ingin membalas kebaikannya dengan memberinya semangat. Hanya itu!
Apakah salah jika seseorang ingin berada di dekat orang yang membuatnya nyaman selama ini? Salah jika aku hanya ingin membalas kebaikannya? Rasanya aku ingin segera marah di hadapannya. Tapi apa? Aku hanya bias kembali menundukkan kepala lagi. Berusaha sibuk meremas-remas ujung bajuku untuk meluapkan kemarahanku.

“Oh ya, karena mungkin sore ini adalah sore terakhir aku ketemu kamu, ini, origami terakhirku untukmu. Origami burung bangau warna abu-abu. Abu-abu artinya perpisahan. Awalnya sih, aku mau ngasih salam perpisahan ini ke kamu pas di sekolah waktu itu, tapi aku malah pingsan duluan. Makanya, origami abu-abu ini baru aku kasihin ke kamu hari ini.” Dian diam sejenak, memberi jeda bicara. Tapi, tangannya masih menjulurkan origami itu.

Mukaku panas, mataku mulai berair. Aku hendak marah. Tapi, bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin aku bisa marah kepada orang yang telahmembuatku tersenyum lagi? Tanganku gemetar,  masih berdiam di tempat, tak segera mengambil origaminya.

Benar,aku tersinggung dengan ucapannya. Bagaimana bias Dian mengucap salam perpisahan untukku, bahkan sebelum aku bias dengan jelas memahami perasaanku sebenarnya. Lantas, buat apa Dian memberikan warna-warni origami setiap harinya, jika pada akhirnya nanti Dian sendiri yang memaksaku menjauhi dirinya dengan alasan konyol begitu. Pertanyaan retoris bertubi-tubi muncul dalam kepalaku. Dian ternyata sama saja seperti Papa, begitu saja pergi meninggalkanku.

Akhirnya dengan bergetar aku menjawabnya,” Maaf, aku enggak bisa terima.” Aku masih berusaha menahan tangisku saat akhirnya Dian tetap berkutat menjulurkan tangannya. Bahkan setelah aku berkata begitu.

“Please Ve. Kali ini aja Vemia. Tolong terima origami terakhirku ini. Aku tahu ucapanku keterlaluan, tapi aku punya alasan pasti kenapa aku nglakuin ini. Aku..”

“Beneran Di, aku enggak bisa. Bukannya…bukannya kamu yang bilang kalau hidup harus selalu semangat? Kenapa sekarang kamu malah nyebut kata perpisahan yang belum pasti datengnya kapan.” Aku sempurna bersiap pergi dari ruangan ini. Sempurna juga mulai menatap sepatuku, bergetar menahan tangis.

Tes…
Satu tetes air mata terjatuh di lantai keramik. Cepat-cepat aku menyeka air mataku yang mulai menetes lagi. “Maaf, aku permisi dulu.”

Apa tadi janjiku pagi ini? Tak boleh menangis untuk hari ini? Tentu aku masih ingat dengan janjiku itu. Tapi…Ya Tuhan, entah mengapa tangan ini masih bergetar saat berusaha menyeka setiap airmata yang makin deras mengalir.

“Permisi, Tante. Vemi mau pulang dulu.” Ucapku berusaha tersenyum. Tapi, Tante pasti akan tahu kalau aku menangis. Sebelum disadari, aku sudah terlalu buru-buru berjalan melewati lorong rumah sakit.

Harapan? Aku masih menyimpannya di lubuk hatiku. Bahkan di sela-sela tangisku, aku masih berdoa untuk harapanku, harapan Dian, harapan tante, dan harapan semua orang yang mengenal Dian. Ya, aku selalu menyebut harapan kesembuhanmu, Dian. Selalu.

Beberapa hari setelah kejadian di rumah sakit, aku benar-benar tak pernah menemui Dian. Ah..bahkan aku masih ingat sekali detail setiap kata-katanya.Setiap desahan panjangnya di sore itu. Aku benar-benar tak percaya ia mengusirku dengan halus.

Hhh..
Kulirik lagi bangku di sampingku yang sudah lama kosong itu. Benar-benar kosong. Entah mengapa, perasaan kosong ini semakin terasa setelah Dian opname. Aku merasa aneh. Bukankah dulu-dulu aku selalu terbiasa dengan kekosongan, kesendirian, atau entahlah apa namanya itu. Tapi, kenapa aku mempermasalahkan kesendirian itu sekarang. Aku tak menemukan definisi yang tepat untuk menjelaskan pertanyaanku sendiri.

Hari-hariku terasa hambar kembali. Sama seperti dulu, aku hanya siswa biasa yang menjalankan rutinitas biasa. Teman-teman di kelas pun merasa sudah biasa lagi dengan kembali meminjam buku peerku. Bedanya, kalau dulu aku merasa sebal setiap kali bukuku dipinjam, kali ini aku sudah acuh, tak peduli.

Semakin aku merasa sepi, semakin lama aku memendam diri, berkutat di buku-buku tebal pelajaran. Berusaha belajar sekeras mungkin. Apapun itu, setidaknya bisa membuatku melupakan, walaupun sejenak. Mungkin, yang kupelajari bukanlah soal pelajaran sekolah lagi, melainkan pelajaran bagaimana cara melupakan.

Sama seperti siang ini, aku kembali berkutat di depan buku-buku pelajaranku. Aku hanya sibuk melamun sambil memainkan bolpenku. Tidak tertarik sama sekali untuk membaca buku di hadapanku. Lagipula, tugasku sudah kuselesaikan satu jam yang lalu. Sampai tiba-tiba…

Ting tong ! Ting tong!

Aku langsung berhenti memainkan ujung bolpenku. Ada tamu? Siapa? Tanyaku dalam hati setelah tersentak dari lamunanku tadi. Buru-buru aku berlari mendekati pintu depan rumah. Mungkin, Mama sedang pergi ke luar rumah. Lagipula, kasihan ‘kan kalau ada tamu dibiarkan menunggu lebih lama.

Kreek…

“Eh..tante?!” Aku sedikit terkejut melihat Mamanya Dian ada di depan rumahku. Dengan sedikit canggung aku mencium punggung tangannya dan mempersilahkan masuk ke dalam.

“Mari Tante,masuk dulu. Vemi buatin minum dulu ya Tan.” sapaku ramah.

Setelah aku membawakan minuman dingin, aku segera duduk di sofa, tepat di hadapan Mamanya Dian.

“Kok kesini nggak bilang-bilang dulu Tan?”

“Maaf kalo Tante nggak kasih kabar dulu, lagian Tante kan kesini cuma mau silaturahmi sama nengokin kabar kamu aja. Soalnya kamu kok kayaknya udah jarang ke rumah sakit gitu.”

Leherku tercekat. Aku tidak bias berterus terang tentang kejadian di sore hari itu. Akan semakin rumit masalahnya jika aku menceritakan kejadian sebenarnya. Nanti, malah Tante merasa bersalah. Aku jelas gugup, memikirkan jawaban terbaik yang akan kuberikan kepada Mamanya Dian.

“Eum… enggak ada apa-apa kok Tante. Cuma, akhir-akhir ini lagi banyak ulangan harian aja.” Aku sedikit berbohong. Aku tahu ini  salah, tapi bagaimana lagi? Aku semakin tak tega jika harus melihat wajah sayu berkerudung merah marun di hadapanku ini.

“Oh..kukira kamu lagi ada masalah sama Dian.” Aku hanya bias tersenyum menangaggapi.

“Ohya, ini tante bawain sesuatu buat kamu Nak Vemi.” Tangan Mamanya Dian dengan cekatan membuka ritseleting  tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dengan hiasan bunga.

“Ini tadi pagi Dian nitip. Aslinya disuruh besok aja, pas Dian operasi. Tapi, Tante pikir, bakalan lebih baik kalau kamu ndapetin sekarang. Kali aja ada sesuatu yang penting.”

Deg…
“Operasi Tante? Besok? Kok Ve nggak tahu ya?” tanyaku menyelidik.

“Lho, Dian emangnya enggak ngasih tau ya?Duh..masa temen sendiri lupa dikasih tahu sih?!”

Tenggorokanku makin tercekat. Aku jelas mengetahui bahwa diriku sudah tidak dianggap lagi di kehidupan Dian. Jika sikapnya seperti ini, jelaslah kalau Dian benar-benar menutup perjumpaan denganku. Aku sudah hilang dari kehidupan Dian.

“Kalau Nak Ve mau dateng nemenin tante saat operasi Dian, tante bakalan bahagia banget. Nak Vemi bisa?”

“Insya Allah, Tante. Nanti kabarin Vemi kapan jam operasinya ya, nanti Vemi usahain dateng kok.”
Mamanya Dian mengangguk manis.” Kalo gitu Tante permisi dulu ya? Kasihan Dian kalo ditinggal lama.” Tubuhnya pun semakin menghilang seiring langkahnya meninggalkan rumahku.

Tik..tik…
Suara jam yang berdetak memenuhi setiap sudut kamarku yang sunyi. Sedangkan aku, hanya tiduran di kamarku sambil sibuk memainkan kotak putih pemberian Dian. Jelas, aku penasaran dengan isi kotak putih ini. Kotak itu masih sama seperti tadi. Masih terbungkus rapat.

Aku masih ragu untuk membukanya. Takut akan kemungkinan2 yang akan terjadi jika aku membuka kotak itu. Aku terlalu takut untuk menduga-duga. Aku kembali  menimang-nimang kotak itu. Oke, baiklah.Mungkin sudah waktunya memutuskan untuk membuka kotak ini. Dengan perlahan,aku membuka tutup kotak itu perlahan.

Deg..

Seakan setelah seperseribu detik aku memberanikan diri. Setelah itu juga, sepersekian detik selanjutnya hatiku mencelos kecewa. Isi dari kotak itu yang membuatku lemas seketika. Origami itu. Origami abu-abu yang belum tersampaikan kepadaku. Origami itu kini sempurna di hadapanku, di dalam kotak yang sedari tadi membuatku penasaran.

Tes…

Apa yang kemarin Dian bilang? Origami terakhir? Mungkin. Kupikir setelah selama salam terakhir ini, Dian tidak akan membuatkanku origami lagi. Tidak akan ada lagi origami warna-warni yang akan menghiburku di sela2 jam pelajaran. Tidak akan ada lagi teman sebangku yang rela bersusah payah mengajak bercanda orang sejutek aku lagi. Dan kali ini, aku benar-benar terdiam, tidak bisa berkata-kata lagi.

Satu  air mataku jatuh menimpa origami. Eh? Aku melihat ada bekas tinta yang memudar dari balik lipatan origami itu. Suratkah? Tapi, bukankah selama ini Dian tidak pernah menuliskan apapun di origami buatannya.

Dengan hati-hati, kubuka lipatan origami abu-abuku. Aku berusaha menghentikan diri untuk tidak menduga-duga, berprasangka buruk. Aku tidak ingin perasaan2 itu tambah menghantuiku.

Sret…

Benar. Di balik lipatan origami abu2ku ada tulisan Dian. Aku hafal betul dengan bentuk tulisan setengah rapi-berantakan itu. Tulisan yang sedikit goyah, terlihat gemetar (mungkin dia menuliskannya dengan susah payah di ranjangnya). Pesan itu, singkat saja:

Satu tetes air mataku sempurna terjatuh dari pipiku. Biarlah, kali ini aku tak akan melarang tetesan ini mengalir. Biarlah, tetesan2 lainnya menyusul. Biarlah, kalau memang ini satu2nya cara agar aku bisa meluapkan emosiku.



“Maafkan ucapanku tempo lalu. Bukankah tak semua perasaan di hati harus terucapkan sama di lisan?”

Aku tetap diam membaca pesan Dian.

Esoknya aku pergi ke rumah sakit. Ah..aku tak peduli dengan larangan Dian untuk berhenti menjenguknya. Bagaimanapun, Dian masih kuanggap sebagai orang yang berarti dalam hidupku. Orang yang telah memberikan warna-warni origami ke dalam hatiku.

Aku tak memikirkan apa reaksi dian nanti. Mungkin nanti dia akan marah mengetahui aku tetap menjenguknya seperti saat ini. Tak apa. Aku sudah mempersiapkan hati agar lebih tabah. Toh.. dari awal yang salah aku. Aku yang tidak bias membendung rasa penasaranku terhadap pesan singkat itu. Aku hanya ingin bertanya, memastikan.

Aku melihat jam tangan di pergelanganku. Ah..masih ada 15 menit sebelum Dian masuk ke ruang operasi. Aku mengetahuinya setelah aku diberitahu lewat sms dari Tante tadi. Degup jantungku mulai berpadu dengan suara sepatu yang setengah berlariku.

Sampai di depan kamar rawat Dian aku mengetuk pelan pintunya. Mamanya Dian terlihat sumringah melihatku. “Lho, Nak Vemi! Tumben baru dating?”

Aku tersenyum semanis mungkin sambil tetap memasuki ruangan setelah dipersilahkan oleh Tante. 

“Maaf baru bias jengukin sekarang Tan.”

“Oh ya, itu Dian, sapa dulu sana. Kalian udah lama enggak ketemu kan? Tante pergi bentar deh, biar kalian bias leluasa ngobrolnya.” Aku hanya tersenyum canggung menanggapi sikap Mamanya Dian. Ini pasti hanya siasat agar aku bias leluasa mengobrol dengan Dian. Tante pasti tahu, kebohongan kecilku kemarin pasti tidak bias menutupi kalau aku ada masalah dengan Dian.

Setelah suara pintu ditutup terdengar, ruangan kini benar-benar senyap. Dian mungkin acuh dengan kehadiranku, dan aku hanya bias berdiam diri bingung hendak berkata apa. Meskipun aku tahu. Tadi, waktu aku masuk, sekilas kulihat Dian sempat melihatku dengan heran, terutama dengan kotak berukuran sedang yang kubawa sedari tadi.

“Hai.” Sapaku memecah keheningan. Dian masih saja tetap acuh dengan melihat keluar jendela. Aku menghela nafas, baiklah jika Dian masih marah karena aku melanggar larangannya, tapi kali ini aku benar2 harus dating menemuinya. Aku harus bias memastikan makud pesan tersebut, meski hatiku sudah paham benar dengannya. Ada juga pesan yang harus segera kusampaikan setelahnya.

“Aku sudah baca pesanmu di origami abu-abu2 itu Di. Dan aku juga minta maaf udah ngelanggar laranganmu buat njengukin kamu lagi.” Aku berhenti di ujung kalimatku. Menguatkan diri untuk melanjutkan berbicara.

“Kamu bilang ‘tak semua perasaan di hati harus terucapkan sama di lisan’ bukan? Aku hanya ingin tanya apa maksudnya, ingin memastikan. Aku cuma ingin memastikan kalau kamu enggak benar2 membenciku, seperti yang aku kira. Aku ingin berharap kalau itu hanya terucap di lisanmu aja, bukan dari hatimu.”

Aku kembali terdiam. Kali ini aku meletakkan kotak berukuran sedang yang kubawa sedari tadi.

“Kamu tahu? Aku berusaha membencimu karena ucapan kasarmu waktu itu. Setiap waktu, biar aku bisa nglupain kamu. Tapi, sebenci apapun kata yang keluar dari mulutku, tetap aja hatiku menolak untuk membencimu.  Karena aku tahu, hatiku terlalu penuh dengan warna2 origami buatanmu, tidak akan cukup jika ditambah untuk membencimu.

Lihat Di. Bahkan setiap kali aku membuka isi kotak ini dan melihat isinya, aku selalu teringat dengan setiap kata yang kauberikan bersama dengan origami yang kaulipat. Ya, aku selalu menyimpan setiap origami buatanmu,agar aku selalu ingat bahwa kamu yang membuat senyumku kembali lagi. Aku…”
Tenggorokanku tercekat. Mukaku mulai memanas. Mataku mulai berkaca-kaca. Tidak! Aku tidak ingin menangis! Buru2 aku menyeka mataku yang mulai berair dengan kedua tanganku. Kalau aku menangis, akan semakin sulit untuk menyampaikannya. Tangisan tidak akan menyelesaikan masalah bukan? Lagipula, aku sudah berjanji dalam hati tadi. Setelah aku menyelesaikan pesanku, aku tidak akan menangis di hadapan Dian.


Tiba-tiba suara Dian terdengar. Kali ini Dian mau melihat ke arahku. Dia bertanya dengan penuh menyelidik.

“Kenapa Ve?”

“Kenapa kamu enggak bisa benci? Padahal, aku udah berusaha membuatmu berhenti menjengukku. 

Aku enggak ingin njatuhin airmatamu lagi. Entah kenapa, setiap kali kamu tersenyum, aku selalu takut jika di belakangku nanti kamu akan nangis. Aku tau pasti Ve. Kamu enggak pernah pinter bohong. Dan, andai kau tahu, hatiku selalu kebas, seperti mau mati setiap kali membayangkannya.”

Eh?! Spontan aku memandang mata teduh Dian. Mendengarkan dengan seksama. Kali ini aku diam menyimak setiap kata2 Dian.

“Kupikir, dengan kamu membenciku, kamu bisa tersenyum tanpa tangis terpendam lagi. Kamu akan tetap tersenyum meski aku mati nanti, karena kamu enggak akan nginget orang yang mbikin kamu tersinggung kayak aku ini bukan?”

Dian tertawa kecil menanggapi ucapannya sendiri. Aku tahu, itu bukan tawa seperti yang biasanya. Itu bukan tawa yang mampu membuatku nyaman setiap di dekatnya. Bukan tawa yang penuh semangat, melainkan tawa yang mengguratkan tidak adanya harapan.

“Tetaplah hidup, Di. Kamu enggak boleh ndahului takdir kematianmu sendiri. Urusan kematian udah ada yang ngatur. Sekalipun ternyata kamu meninggal nanti, aku janji. Aku nggak akan nangis. Aku akan hidup untuk tersenyum setiap mengenangmu dan semua origami yang pernah kaubuat untukku.”

Kreet….

Suara pintu ruangan terbuka seiring dengan langkah2 cekatan para suster yang hendak membawa 
Dian, “Permisi, saudara Herdian, sudah waktunya memulai operasi.”

Aku tetap tersenyum kepada Dian, seolah mengisyaratkan bahwa operasinya kali ini akan baik2 saja. Mengisyaratkan pula bahwa aku dan Mamanya akan tetap menunggu dengan baik2 juga, tanpa ada desah cemas, tangis, dan yang sejenisnya.

Dian masih tetap menatap lekat diriku dan Mamanya saat ranjangnya mulai dibawa keluar kamar rawat. Tepat sebelum dia menghilang dari balik pintu, Dian balas tersenyum kepadaku. ‘Aku juga akan baik2 saja’ mungkin itu arti dari sorot mata yang ia pancarkan. Kami tak memerlukan kata-kata yang rumit untuk bisa memahami, mengerti maksud satu sama lain seperti saat ini. 

Aku menghela nafas. Tidak! Bukan untuk mengeluh dengan takdir yang menimpa, baik untukku, Tante, maupun Dian. Aku ingin menghela nafas lega karena Dia sudah berkenan memberikan takdir terbaik untukku dengan mempertemukan Dian di pagi itu.

Meski aku tidak tahu dengan akhir takdir ini, aku masih bersyukur sempat mengenal senyum, tawa dan semua origami Dian. Aku sempat merasakan senyum yang lama menghilang sejak Papa meninggal, sejak warna2 origami masuk ke dalam hidupku.

Maka, untuk takdir selanjutnya, kami akan tetap serahkan semuanya kepadaMu. Hanya Engkaulah yang tahu takdir terbaik yang akan kami terima. Entah nantinya Engkau berkenan mempertemukan kami dengan Dian atau tidak, itu tetap terserah padaMu. Kami akan berusaha menerima dan mengenang takdir ini dengan senyuman. Ah..mungkin tepatnya aku.




















































































               












18.41

CINTA

Kurasakan rasa ini menderu
Berlari dan berkejaran tak tentu
Sembunyi, berkemul bermanja di hatiku
Ah ... apakah rasa ini

Kadang tiba-tiba dia datang
Menyergap lalu memelukku
Dan sedetik kemudian dia bergegas
Meninggalkanku dalam kegalauan

Kadang lama dia kerasan bersemayam
Mengusikku dalam indah lamunan
Melukiskan bayang
Mendendangkan kangen kerinduan

Ah ... siapa yang harus kutanya
Pertanyaan yang terus terulang
Siapakah dia ...

Dan kini ...
Dewi Aphrodite yang datang
Membelai, memelukku dan katakan :
“Itu cinta, sayang !”

18.49

ORIGAMI ABU-ABU (2)

Ngelanjutin cerita yang pertama ... (kalo yg blm sempat baca, simak di sini !). Ok, tanpa basa-basi langsung lanjut aja deh ....


Sepanjang hari Minggu itu aku masih dihantui rasa ketakutan. Aku tak berani cerita ke Mama. Walaupun Mama sempat bertanya ada apa denganku, sebab beberapa bulan terakhir ini di rumah di hadapan Mama aku telah terlihat lebih ceria. Dua hari itu aku terlihat murung dan lebih banyak mengurung diri di kamar.

Aku hanya menunggu Hari Senin, berharap Dian telah kembali masuk sekolah, duduk di sampingku lagi, hilangkan ketakutanku dua hari itu, harapku. Aku tak mampu meneleponnya, sms pun tidak. Dan aku juga tak berani sekedar bertanya ke temen lain tentang kabar Dian, aku khawatir mereka akan memperolokkanku. Aku menjadi begitu bodoh ...

Senin itu aku berangkat lebih awal berharap segera mendapat kabar tentang Dian, walaupun aku tetap tak berani bertanya langsung. Saskia, Dinda dan beberapa temen lain yang selama ini sering cari perhatiannya telah ke rumah sakit tempat Dian dirawat. Tapi mereka tak mampu jelaskan Dian sakit apa, menunggu diagnosis dokter kabarnya.

Senin itu Dian belum bisa masuk sekolah. Ah ... sebegitu parahkah sakitnya? Deg ...deg ...deg jantungku terus berdetak panik sepanjang hari itu. Aku ngga konsen sepanjang pelajaran di kelas. Aku merasa bersalah sebagai teman sebangku aku tak lebih tahu tentang kondisi Dian sebenarnya dibanding teman2 yang lain. Padahal selama ini aku diam2 telah merasa ke-ge-eran dengan origami bangaunya.
Aku coba ingat ke-PD-annya, kecuekannya, usilnya, candanya, senyumnya, tawa lepasnya ...tapi tak mampu tutupi kegelisahan dan ketakutanku tentang kondisinya saat itu.

Aku tetapkan niat, sore selepas pulang sekolah aku harus menjenguknya. Memastikan kondisi Dian sebenarnya, sebab aku tak ingin lebih terlambat dan yang jelas aku ingin luluhkan kegelisahan dan ketakutanku hampir tiga hari itu.

Akhirnya selepas Ashar aku pamit ke Mama, “Ma, aku mo ke rumah sakit ya, bezuk temen”

“Tumben, emang siapa yang sakit? Sama siapa ke rumah sakitnya?” tanya Mama mungkin agak keheranan aku pamit keluar rumah sebab keseharian aku emang lebih merasa nyaman di rumah, membaca ato bantu2 Mama.

“Teman di kelas, sendiri aja Ma” jawabku.

“Kok sendiri? Ngga bareng temen2 sekelas?” tanya Mama kemudian.

Aku ngga menjawabnya, dan kucium tangan Mama, aku berangkat, “ Assalamu’alaikum ...berangkat dulu Ma”

“Wa’alaikum salam warahmatullaahi wabarakaatuh ...ya ati2 di jalan sayang” jawab Mama melupakan jawaban pertanyaannya tadi.

Deg .....

Di depan kamar rawatnya aku termangu, tertegun. Ah ... malu, cemas, takut, campur aduk. Ini pengalaman pertama, bukan saja bezuk teman sakit sendiri tetapi juga pengalaman pertama aku merasakan campur aduk rasa seperti ini.

Keranjang buah yang aku bawa sedari tadi mulai lembab oleh keringat tanganku.Ku dekap erat, aku masih campur aduk rasa. Agak gemetar tanganku handle pintu untuk membukanya.

Krieettt .... pintu kamar terbuka. Deg ... siapa yang menyambut?

“Eh ... temennya Dian ya De ?” sapanya. Siapa dia, mamanya kah ?

“Ee ...iya Tante” jawabku agak parau. Aku masih belum menguasai rasa batinku yang sedari tadi campur aduk.

“Ooo ... maaf siapa namanya? Sendiri ya ? Oya, saya mamanya Dian” sambungnya. Mama Dian terlihat anggun dengan baju kerudungnya. Sederhana tapi terlihat elegan membalut wajahnya yang cukup cantik. Sepertinya garis wajah Dian dominan dari mamanya.

“Vemia, tante !” jawabku.

“Ooo ... ini to De Vemia, berarti temen sebangku Dian ya?” sambungnya ramah. Aku hanya mengangguk tersenyum.

“Silahkan duduk dulu De, tapi maaf Dian masih tidur” katanya mempersilahkan aku duduk.

“Ngga papa tante, biarin istirahat dulu aja” kataku sambil mengambil tempat duduk.

Deg ... deg .... masih saja degup jantungku belum mereda. Kusengajakan pandanganku menyusuri seluruh ruangan bercat putih apel itu. Aku berusaha menenangkan gemuruh jantungku. Kemudian pandanganku berhenti memandangi sosok lelap di bangsal pembaringan ruangan itu. Dian tampak terlelap, wajahnya pias pucat, tampak lemah. Selang oksigen bagai belalai panjang terpasang di hidungnya. Layar monitor yang ada di situ tidak aku pahami menjelaskan apa. Yang jelas, semua itu membuatku semakin khawatir. Sakit apakah Dian? Separah apakah sakitnya hingga tubuhnya yang tampak lemah itu seperti tak menyisakan keceriaan dan keusilannya selama ini. Mana ekspresinya yang selalu tersenyum jahil? Mana semangatnya yang selalu menghibur? Oh ... Tuhan, kenapa Dian?

“Maaf tante kalo boleh tahu Dian sakit apa?” tanyaku pingin segera mendapat jawaban.

Sebelum memberi jawaban, Mama Dian tampak menghela nafas agak berat.

“Begini De Vemia, sebenarnya sakit Dian udah lama. Kira2 sekitar satu setengah tahun lalu. Awalnya Dian merasa pusing dan mual. Kami kira sakit pusing biasa, tapi lama kelamaan sakitnya seperti tak tertahankan. Akhirnya kami bawa ke dokter dan dijelaskan Dian kena kanker otak” jelas Mama Dian panjang.

Deg ... kembali jantungku seperti tersentak. Kanker otak ? Jawaban atas pertanyaan yang menggelayut selama ini malah mengagetkanku sendiri. Keranjang buah yang sedari tadi tetap ku bekap, terasa semakin lembab oleh keringat tanganku. Dan tanganku serasa bergetar, seperti sudah tak kuat menahannya. Aku tak mau getaran tanganku terlihat oleh Mama Dian. Dengan segera aku letakkan keranjang buah tadi ke meja terdekat.

“Dian kami pindahkan sekolahnya agar lebih deket dengan rumah sakit yang mempunyai peralatan lebih lengkap” sambung Mama Dian.

“Seberapa kondisi Dian tante” tanyaku kuatir.

“Menurut dokter, kankernya sudah stadium 3. Biasanya relatif sulit penyembuhannya. Mungkin saja ....” katanya tertahan. Aku penasaran dan semakin ketakutan.

“Mungkin Dian sudah tidak punya banyak waktu lagi. Dalam waktu dekat Dian akan kembali kepada-Nya” sambungnya.

“Tidak tante, Dian pasti sembuh. Kan Dian selalu bersemangat” kataku meyakinkan diri. Entah kekuatan darimana saat ini aku mampu berbicara lebih panjang dengan orang lain. Ada bayang ketakutan aku kembali kehilangan orang yang berarti dalam catatan hidupku setelah kehilangan Papa. Walaupun tidak ada ikatan apa2 antara aku dengan Dian. Tapi saat itu ketakutan itu tak bisa aku tahan.

Ku lihat, Mama Dian mengusap sebutir air mata yang hampir jatuh. Lalu beliau tersenyum :

“de Vemia benar, semoga Dian bisa sembuh. Tak ada yang menghalangi Kuasa Allah jika menyembuhkannya” sambungnya menguatkan diri.

“Oya, sebentar mau tante cariin minum dulu ya” kata Mama Dian kemudian.

“Ngga usah tante, ngga perlu repot2” jawabku basa-basi.

“Udah ngga papa, sekalian tante pingin beli sesuatu di luar, mumpung Dian masih tidur, tolong temenin Dian dulu ya, maaf lho” katanya dengan tetap nada ramah.

Sesaat sebelum Mama deian keluar ruangan, matanya tertuju ke benda di atas meja tempat aku meletakkan keranjang buah tadi. Ada origami bangau warna pink. Kali ini tidak dari kertas seperti biasanya. Kertasnya lebih mengkilap, lebih rapi.

“Oya, tante hampir lupa, Dian tadi bilang kalo De Vemia datang origami itu mau dikasihkan ke De Vemia. Sengaja dari rumah minta dibawain itu, Dian sendiri yang buat. Ambil aja !” Mama Dian menjelaskan yang tak urung mengagetkanku.

Aku ambil origami pink itu. Aku tertegun memandanginya, kenapa, apa artinya ... aku penasaran menunggu jawaban pertanyaanku ini. Tapi orang yang aku harap bisa menjelaskan kini terlelap lemah.

Krieett ... pintu kamar rawat itu dibuka. Hampir aku tak mempedulikan Mama Dian keluar kamar, hingga beliau pamit, “Tante tinggal bentar ya De”

“I ...iiya Tante” jawabku agak terkaget, agak malu rasanya.

Ruangan kamar itu menjadi sunyi. Aku seperti sendiri sebab Dian masih tampak terlelap pias. Perlahan aku mendekat ke samping pembaringan Dian. Sesaat aku pandangi wajahnya, getir aku mengingat sakitnya : Kanker Stadium 3 !

Sebenarnya aku ngga terlalu paham tentang penyakit ini, tapi kekhawatiran Mama Dian tentang kemungkinan hidup Dian yang mungkin sudah tidak lama lagi, tak urung membuatku ikut takut. Aku menggigit bibir sendiri menahan getir tadi. Perlahan air mataku menetes. Tanganku menutup mulut kuatir suara tangisku terdengar. Entah, air mataku semakin deras mengalir. Kakiku terasa gemetar tak kuat menopang tubuhku. Aku duduk di kursi tepat disamping pembaringan Dian.

Tergugu aku membayangkan sahabat terbaikku itu umurnya mungkin tinggal menunggu bulan, hari, jam, menit bahkan detiknya dari sekarang. Aku masih sesenggukan sendiri. Tangan kiriku masih memegang origami bangau pink yang dititipkan Mama Dian sebelumnya. Aku beralih memandangi origami itu, apa artinya warna pink yang pingin disampaikan ke aku, kenapa kertasnya kali ini berbeda, kenapa dalam sakitnya Dian masih berusaha memberikan origami ini ke aku ...pertanyaan2 itu belum menemukan jawaban.

“Hei ... kenapa nangis? Di sini dilarang, tau !” suara itu mengagetkanku. Ternyata itu suara Dian yang sudah terbangun. Belum berakhir kekagetanku, aku rasakan kehangatan menjalariku. Semakin kaget. Air mataku diseka oleh tangannya yang pucat. Aku semakin gemetar ...

“Ah ...ehm maaf !” aku bergetar menjawab. Buru2 aku seka sisa air mata yang masih mengalir.

“Sori aku tidur tadi, dah lama?” tanyanya lirih.

“Lumayan” jawabku.

“Sendirian?, Mamaku mana?” sambungnya kemudian.

“Iya, sendiri. Mamamu keluar sebentar katanya mo beli sesuatu” jawabku menerangkan.

Sesaat kami berdua terdiam, bingung aku mau bicara apa lagi. Aku tak sanggup menatap matanya yang sayu. Sepertinya Dian memperhatikanku, aku merasa salah tingkah, tapi masih terdiam.

“Oh ..ya makasih origaminya” kataku memecah keheningan, sambil aku perlihatkan origami bangau pink di tanganku. Aku masih belum berani beradu pandangan dengannya.

“Semoga kamu seneng Ve” jawabnya, sepertinya pandangannya masih memperhatikanku.

“Ve, untuk warna pink ini aku berusaha membuatnya beda dibanding yang sebelumnya. Tempo hari aku ragu pingin menyampaikannya ke kamu, sengaja aku simpan di kamar. Entah ini waktu dan tempat yang pas ngga aku memberikannya ke kamu di sini” paparnya panjang. Aku beranikan diri menatap wajahnya.

“Kenapa?” tanyaku lirih agak bergetar.

“Aku takut terlambat ...” kalimatnya seperti tertahan. Aku semakin lekat memandang wajahnya.

“Aku ingin dia terbang ke hatimu, bawakan hatiku” sambungnya dengan tetap menatap pandanganku. Tangan Dian bergerak memegang tanganku yang memegang origami pink itu.

Deg ....

Splash !! ... Selaksa ada guyuran air menyiram tubuhku. Dan aku seperti terbang melambung ke gugusan Galaksi Andromeda .... Aku tak mampu berkata, bahkan aku menunduk. Kembali campur aduk rasa batinku. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Aku berusaha kembali membumi.

“Kamu tak perlu menjawab apa2 Ve, tapi makasih telah memberi waktu aku mengatakan ini” katanya kemudian seperti memahami kebingungan perasaanku. Sebelumnya dan sampai saat itu sebenarnya aku tak ingin berharap lebih terhadapnya. Tapi saat itu, satu sisi tak bisa aku pungkiri kecemasanku atas penyakitnya, tapi satu sisi aku jelas melambung mendengar kalimatnya.

“Aku takut terlambat, sebab ...”katanya mengulang kalimat sebelumnya. Sebelum melanjutkan kalimatnya segera aku potong :

“Stop! Jangan ngomong seperti itu ...”kataku lebih karena kecemasanku terhadapnya.

Sesaat kami sama2 kembali terdiam, sibuk dengan pikiran masing2.

“Dian, boleh tanya sesuatu ngga?” tanyaku agak ragu. Dian kembali menatapku tanpa menjawab.

“Sebelum kamu pingsan di sekolah kemarin, aku menemukan origami bangau abu2 yang terjatuh dari dalam tasmu. Apa itu memberi firasat sakitmu ini ...?” tanyaku masih dengan nada ragu.

Dian tidak menjawab, tetapi malah tersenyum tengil seperti selama ini di kelas. Mungkin bisa jadi Dian seperti pingin tertawa terbahak, membuatku semakin penasaran mendengar jawabnya.

“Bener ngga Dian?” tanyaku mengejar jawabannya. Bener Dian malah tertawa agak tertahan tidak seperti biasanya.

Krieettt ... pintu ruang kamar dibuka. Aku agak kaget mendengarnya.

“Maaf lama ya De? Agak ngantri tadi” kata Mama Dian sambil masuk ke ruang kamar mendekat ke kami, memutus jawaban penasaranku.

“Ough ... ngga papa Tante” jawabku basa-basi.

“Lho kamu dah bangun ya, malah dah ketawa gitu” sambung Mama Dian menghampiri.

“Ya jelas dah bangun gini kok Ma, mata juga dah melek lebar gini masa mo dibilang masih tidur” jawab Dian kumat tengil seperti biasanya.

“Ih, kamu ini lagi sakit tetep aja tengil gitu” kata Mama Dian tampak gemes dengan polah anaknya itu.

Dan kami tertawa bersama. Aku merasa nyaman, sangat nyaman menikmati suasana saat itu. Selama ini aku membiarkan diriku larut dalam kesedihan ditinggal Papa. Bahkan ke Mama pun aku jarang merasakan kehangatan seperti itu. Bukan karena Mama, tapi aku yang selalu menutup diri. Mama mungkin sudah habis akal berusaha membuatku kembali ceria. Aku merasa berdosa kepadanya. Makasih Dian dan mamanya yang mengembalikan rasa bahagiaku saat itu ....

TO BE CONTINUED ... lagi deh, sabar ya nunggu lanjutannya sb aku harus semedi dulu

19.12

ORIGAMI ABU-ABU

Pagi hari itu semua seperti hari-hari sebelumnya, menyebalkan !. Ketika ada PR Matematika seperti waktu itu hampir semua teman di kelas menjadi begitu sok manis, sok ramah. Jelas sekali tujuan mereka, pingin menyontekku.

“Eh, Mia ! ehhmm ... aku boleh pinjem pe-ermu yach ?” Dinda yang pertama bilang sebelum yang lain.

“Mia ! aku ngikut pinjem juga yach ...plisss, Mia imut deh !” si centil Saskia menyusul kemudian.

“Oya, aku juga pinjem ya, habis kelupaan sih, boleh ya, boleh !” beberapa dari mereka merajuk dan merajuk lagi.

Dan aku tak pernah berkata TIDAK ke mereka, selalu dengan dingin aku berikan catetan PR-ku menjadi rebutan mereka. Yang menyebalkan setiap kejadian seperti itu berulang, kemanisan dan keramahan mereka ke aku tak pernah lebih dari setengah jam. Lima, enam jam berikutnya mereka akan kembali mengacuhkanku. Membiarkanku sendiri, setelah ‘kebutuhan’ contekan mereka terpenuhi. Yach ... aku bener2 dibiarkannya sendiri, bahkan di kelas ini hanya aku yang duduk tanpa teman sebangku, paling belakang pojok kiri. Aku bener2 sebel dengan polah dan gaya mereka ini. Tapi karena mungkin selalu terulang, terkadang aku sudah tak mengacuhkannya, tak peduli!.

Terkadang aku sendiri bertanya kenapa mereka bersikap seperti itu padaku. Apakah aku bener2 gadis yang dingin, jutek, kuper, ga gaul, ga asyik seperti yang sering aku dengar dari celoteh mereka? Mungkin mereka ada benernya juga. Aku tak pernah merasa nyaman ngobrol dengan mereka tentang gosip, tentang boyband, tentang girlband, tentang fashion ala2 bintang K-Pop yang sekarang mereka gandrungi. Bagiku, semua itu apalah artinya, ga penting !. Mereka tak pernah merasa ‘nyambung’ ngobrol dengan aku. Dan aku lebih memilih membaca buku di kelas ato pun di perpustakaan. Sendiri ! Dan aku seringkali juga merasa nyaman dengan kesendirianku ini. Tokh aku tak merasa mengganggu mereka, itu alasanku.

Walaupun terkadang aku pun merasa galau dengan kesendirianku. Pingin bisa asyik berbaur dengan mereka.  Sebab aku dulu pada dasarnya juga mampu ceria. Tapi sejak meninggalnya Papa sekitar empat tahun lalu dalam sebuah kecelakaan motor, aku menjadi penyendiri dan pendiam. Papa menjadi korban tabrak lari oleh sebuah mobil yang hingga saat ini tak pernah tahu siapa penabraknya. Aku belum mampu menerima kepergian Papa yang mendadak seperti itu. Aku masih sering menangis mengingatnya terlebih ketika aku sambil memeluk boneka panda pink yang dibawanya saat itu, demi aku kangen pelukan Papa  ......................................................

Tanggal 29 Februari, hari ulang tahunku, menjadi hari yang berbeda. Aku lahir pada tahun kabisat. Hanya empat tahun sekali tanggal ini terulang. Yang terasa lebih menyesakkan, pada tanggal itu empat tahun lalu Papa meninggal membawa hadiah boneka panda pink untukku. Hari itu tak ada perayaan ulang tahunku. Aku tak sanggup bersenang merayakan ulang tahunku, pada tanggal itu, Mama pun telah jauh hari sebelumnya menyampaikan hal ini. Aku berdua dengan Mama lebih memilih mengenang Papa, walaupun deras air mata yang lebih banyak keluar.

Tanggal itu aku tetap berangkat ke sekolah. Seperti hari biasanya, teman2 juga tidak ada mengingat dan peduli bahwa tanggal itu adalah ulang tahunku, dan aku tak mempedulikannya. Aku tak pernah mempersalahkan semua itu. Tapi .....kemudian, kenapa harus ada dia? Dan perkenalan itu, tatapan itu, senyuman itu akan mengubah semuanya. Mengubah keseharianku, mengubah gairahku ....

“Pagi anak-anak !” Bu Andri wali kelasku masuk bersama seorang cowok yang belum dikenal di kelasku.

“Kita hari ini kedatangan murid baru, namanya .....” dan tiba2 aja cowok itu langsung menimpali :

“Hei semua, Aku Dian, lengkapnya Herdian Hendra Saputra, pindahan dari SMA Tunas Bangsa, salam kenal semua !”

Ukh ...PD banget tuh anak bahkan bagiku cenderung norak dengan gayanya yang sok seperti itu. Temen2 cewekku mulai saling berbisik dan seperti berebut perhatian. Emang sih aku liat sekilas dari belakang, lumayan cakep tuh anak, setidaknya dibanding temen2 cowokku di kelas.

Belum habis rasa ill feel-ku terhadap sikap yang menurutku sok tadi, aku seperti dikagetkan ucapan Bu Andri kemudian :

“Nah, perkenalan cukup ! ... Dian silahkan duduk di samping Vemia di pojok belakang itu!”

Apa ...?! Dia ...?! harus duduk di sampingku? Dunia seperti berputar dan berputar, sampai2 aku merasa mual olehnya. Aku sepertinya malah menjadi salah tingkah, kikuk, terlebih beberapa temen terutama cewek berbarengan,”Huuuuu ...!” sambil cekikikan, entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Kesel, ngiri, ato ga tahu apalah perasaan mereka. Padahal bagiku tetep aja anak baru itu norak n sok.

Setelah Dian duduk di samping kananku, aku semakin kikuk, diam. Teman2 yang lain sepertinya kasak-kusuk ga jelas apa yang diomongin mereka.

“Aku duduk di sini ya? Oh ya ... namaku Dian, ehhmm kalo kamu?” tanyanya menjulur, tepatnya menggantung tangannya. 1 detik, 2 detik, 3 detik ....tik tok tik tok ...

“Aku Vemia!” jawabku sambil menunduk tak memperdulikan juluran tangannya, mungkin terdengar ketus.

Hanya itu yang mampu aku ucapkan. Setelah seperkian detik menanti jawaban dariku tadi, ternyata hanya itu yang mampu aku ucapkan. Hanya dua kata ! Dan aku tak mempedulikan apakah Dian tersinggung ato ga karena aku tak menyambut jabatan tangan yang dijulurkannya, terlebih dengan jawaban ketusku tadi. Aku masih merasa bener2 ill feel terhadap sikapnya ...

“Okay ... salam kenal” ucapnya cuek.

Tangannya langsung mundur teratur. Dan, herannya Dian seperti mengambil selembar kertas hijau dari dalam tasnya. Tangannya cekatan melipat. Lipat kanan, lipat kiri, tekuk atas ...sesaat kemudian kertas hijau tadi telah berubah bentuk menjadi origami burung bangau. Aku tetap bersikap tak peduli, acuh.

“Ini ... burung bangau hijau. Hijau artinya persahabatan. Aku ingin dia terbang ke hatimu dan menyampaikan salam persahabatan dariku” ucapnya PD dan Dian menyerahkannya kepadaku sambil tersenyum.

Deg !! Aku malah blingsatan, semakin salah tingkah, padahal seisi kelasku sepertinya tak ada yang melihat adegan itu. Mereka asyik memperhatikan ke arah catatan di papan tulis. Mukaku terasa memanas, mungkin terlihat memerah ... tapi kupastikan itu bukan karena sikap marah atas sikapnya. Degup jantungku berdentum semakin keras, tanganku berkeringat. Kenapa aku ini? Kobaran api ill feel-ku beberapa saat tadi seolah padam tersiram air yang membarengi senyumnya ....

Aneh ...rasaku. Dan terasa lebih aneh lagi aku mampu menerima pemberian origami bangau hijau itu. Bahkan aku sanggup tersenyum, membalasnya, ”Makasih ...” kataku pelan mungkin terdengar parau.
Aaccchhhh ....entahlah apa yang terjadi dengan diriku saat itu.
................................................

Selama beberapa hari kemudian, Dian tetap melakukan hal itu. Ya, membuatku bahagia dengan origami bangaunya. Anehnya, hanya aku yang dibuatkan origami bangau, sementara temen lain bentuk kupu, ikan, pinguin, kucing dan bentuk2 lain. Selalu saja origami bangau hanya diberikannya untukku. Dan setiap bangau yang dibuatnya, selalu diucapkan arti yang berbeda setiap warna ...

“Bangau warna kuning,  ...agar kamu selalu ceria”
“Warna biru untuk dirimu yang tenang mempesona”
“Warna ungu muda, karena kamu mampu menenangkan hatiku”

Terdengar seperti menggombal, tapi ternyata aku mampu tersenyum setiap menerimanya. Dan semuanya selalu saja aku bawa pulang, aku simpan di meja belajarku.

“Terima kasih Dian” selalu hanya kalimat itu yang mampu aku ucapkan setiap menerima pemberian origami bangaunya. Padahal, seandainya kamu tahu, sepertinya kamulah cowok pertama di kelas ini yang aku beri ungkapan kalimat seperti itu. Kamu lah yang pertama menerima senyumku lebih dari 3 detik. Kamu lah yang telah memberi  secercah gairah riangku. Walaupun semua itu tak pernah secara nyata aku tunjukkan di hadapan temen2, termasuk kamu. Di hadapan mereka aku masih terlihat diem, cuek tak acuh. Di hadapanmu aku telah mampu tersenyum ....

Dan aku tak pernah merasa marah ketika sesekali Dian pinjam catatanku. Alasannya dia pingin mengejar ketinggalan pelajarannya. Aku percaya, dan aku merasa nyaman membantunya.

Di luar itu ...

“Ihh ... Dian kok kayanya tambah akrab aja ama Si Culun Vemia itu”
“Apaan tuh ? Dikasih kertas bangau segitu aja Ge-eR, norak!”
“Jangan ngarep deh Mia sama Dian”
“Ah ... biarin aja, tokh Dian cuma menganggapnya temen sebangku, ngga mungkin lah !”

Kasak-kusuk mulai sering terdengar jelas di telingaku. Nyaring sekali. Ah ... biarin aja. Tokh seperti itu sudah biasa mereka lakukan ketika tidak membutuhkanku. Dan aku juga sudah terbiasa tidak mempedulikannya ...

Waktu terus berlalu, dan ternyata hampir tiga bulan sudah aku berada sebangku dengan Dian. Dengan keceriaannya, dengan perhatiannya. Dan aku tak perlu merasa perlu berharap lebih dari dia, terlebih kepada siapapun di kelas bahkan di luar kelasku pun Dian seperti bersikap sama. Ceria, akrab dan perhatian. Hanya satu yang beda ...tentang origami bangau. Ya ...hanya aku yang diberinya. Jelas aku sedikit merasa tersanjung, tapi sekali lagi aku tak berani mengartikannya lebih.

Beberapa hari terakhir ini Dian tak membuatkanku origami bangau lagi. Mungkin Dian telah kehabisan ide, pikirku. Hari Sabtu itu, aku juga tak melihat Dian melipat kertas origami. Tapi sejenak sebelum istirahat pertama ada yang jatuh dari dalam tas Dian. Saat itu dia telah asyik berbaur dengan teman2 di luar ... Aku mengambilnya, origami abu-abu.  Kapan Dian membuatnya, jelas bukan di kelas tadi. Kira2 mau diberikannya ke aku lagi ngga ya ? ... Kenapa ngga langsung diberikannya ? Warna abu-abu kira2 maksudnya apa ? Sekian banyak tanya dalam benakku ...

Aku hanya mencoba melihat tingkah polah temen2ku yang di luar dari dalam lewat jendela kelas. Tak terkecuali yang aku lihat Dian yang berada di antara sekumpulan temen2 cowok. Entah apa yang mereka obrolkan, tapi mereka asyik ketawa ketiwi termasuk Dian. Sesekali aku lihat Dian memijit-mijit dan memegang kepalanya termasuk ketika masih di dalam kelas, di sampingku tadi. Aku sebelumnya juga tidak mencoba bertanya kenapa, termasuk aku ngga sempat bertanya kenapa wajahnya nampak sangat pucak. Dian juga tidak menunjukkan kalo dia merasa sakit. Di luar sana Dian masih asyik bercanda. Dan dalam penglihatanku dari jauh, Dian kembali memegang kepalanya, terlihat limbung .... dan akh apa yang terjadi dengan Dian, dia jatuh tergeletak !

Temen2 panik, beberapa menghampirinya, mengerumuninya, hingga tubuh Dian tak tampak dari penglihatanku. Ya ... Allah kenapa Dian ? Apa yang terjadi dengannya ? Sesaat kemudian atas instruksi Pak Tanto, Guru Olah Raga, Dian terlihat dibopong ke ruang UKS.

Aku panik bahkan ketakutan, tapi tak mampu ikut mendekat untuk sekedar lebih tahu apa yang terjadi dengan Dian. Sesaat kemudian bel tanda masuk kelas berbunyi, teman2 mulai membicarakan yang barusan terjadi dengan Dian, mereka juga cemas, tapi tak ada yang mampu memberikan jawaban apa yang sebenarnya terjadi, Dian mendadak pingsan. Hanya itu.

Hingga pelajaran sekolah hari itu usai, Dian tidak kembali ke kelas. Kabarnya dia langsung dibawa ke rumah sakit. Entah, aku semakin takut mendengarnya. Aku takut dia tak kembali berada di samping dudukku. Aku takut tak bertemu dia lagi. Semua kekhawatiran terhadapnya semakin menghantuiku hari itu ...

Di rumah, di dalam kamar aku keluarkan origami bangau abu-abu yang terjatuh tadi dan sengaja aku bawa. Aku bertanya dalam hati, “Mungkinkah warna abu-abu ini memberi firasat buruk tadi?”

 “Yaa Allah ...selamatkanlah dia, jagalah dia untukku. Sebab dia yang telah memberi warna dalam keseharianku sejak tanggal 29 Februari itu ...” tanpa sadar aku telah bergetar terisak mengiringi doaku untuknya, sambil memegangi origami bangau abu-abu ....

TO BE CONTINUED