18.49

ORIGAMI ABU-ABU (2)

Ngelanjutin cerita yang pertama ... (kalo yg blm sempat baca, simak di sini !). Ok, tanpa basa-basi langsung lanjut aja deh ....


Sepanjang hari Minggu itu aku masih dihantui rasa ketakutan. Aku tak berani cerita ke Mama. Walaupun Mama sempat bertanya ada apa denganku, sebab beberapa bulan terakhir ini di rumah di hadapan Mama aku telah terlihat lebih ceria. Dua hari itu aku terlihat murung dan lebih banyak mengurung diri di kamar.

Aku hanya menunggu Hari Senin, berharap Dian telah kembali masuk sekolah, duduk di sampingku lagi, hilangkan ketakutanku dua hari itu, harapku. Aku tak mampu meneleponnya, sms pun tidak. Dan aku juga tak berani sekedar bertanya ke temen lain tentang kabar Dian, aku khawatir mereka akan memperolokkanku. Aku menjadi begitu bodoh ...

Senin itu aku berangkat lebih awal berharap segera mendapat kabar tentang Dian, walaupun aku tetap tak berani bertanya langsung. Saskia, Dinda dan beberapa temen lain yang selama ini sering cari perhatiannya telah ke rumah sakit tempat Dian dirawat. Tapi mereka tak mampu jelaskan Dian sakit apa, menunggu diagnosis dokter kabarnya.

Senin itu Dian belum bisa masuk sekolah. Ah ... sebegitu parahkah sakitnya? Deg ...deg ...deg jantungku terus berdetak panik sepanjang hari itu. Aku ngga konsen sepanjang pelajaran di kelas. Aku merasa bersalah sebagai teman sebangku aku tak lebih tahu tentang kondisi Dian sebenarnya dibanding teman2 yang lain. Padahal selama ini aku diam2 telah merasa ke-ge-eran dengan origami bangaunya.
Aku coba ingat ke-PD-annya, kecuekannya, usilnya, candanya, senyumnya, tawa lepasnya ...tapi tak mampu tutupi kegelisahan dan ketakutanku tentang kondisinya saat itu.

Aku tetapkan niat, sore selepas pulang sekolah aku harus menjenguknya. Memastikan kondisi Dian sebenarnya, sebab aku tak ingin lebih terlambat dan yang jelas aku ingin luluhkan kegelisahan dan ketakutanku hampir tiga hari itu.

Akhirnya selepas Ashar aku pamit ke Mama, “Ma, aku mo ke rumah sakit ya, bezuk temen”

“Tumben, emang siapa yang sakit? Sama siapa ke rumah sakitnya?” tanya Mama mungkin agak keheranan aku pamit keluar rumah sebab keseharian aku emang lebih merasa nyaman di rumah, membaca ato bantu2 Mama.

“Teman di kelas, sendiri aja Ma” jawabku.

“Kok sendiri? Ngga bareng temen2 sekelas?” tanya Mama kemudian.

Aku ngga menjawabnya, dan kucium tangan Mama, aku berangkat, “ Assalamu’alaikum ...berangkat dulu Ma”

“Wa’alaikum salam warahmatullaahi wabarakaatuh ...ya ati2 di jalan sayang” jawab Mama melupakan jawaban pertanyaannya tadi.

Deg .....

Di depan kamar rawatnya aku termangu, tertegun. Ah ... malu, cemas, takut, campur aduk. Ini pengalaman pertama, bukan saja bezuk teman sakit sendiri tetapi juga pengalaman pertama aku merasakan campur aduk rasa seperti ini.

Keranjang buah yang aku bawa sedari tadi mulai lembab oleh keringat tanganku.Ku dekap erat, aku masih campur aduk rasa. Agak gemetar tanganku handle pintu untuk membukanya.

Krieettt .... pintu kamar terbuka. Deg ... siapa yang menyambut?

“Eh ... temennya Dian ya De ?” sapanya. Siapa dia, mamanya kah ?

“Ee ...iya Tante” jawabku agak parau. Aku masih belum menguasai rasa batinku yang sedari tadi campur aduk.

“Ooo ... maaf siapa namanya? Sendiri ya ? Oya, saya mamanya Dian” sambungnya. Mama Dian terlihat anggun dengan baju kerudungnya. Sederhana tapi terlihat elegan membalut wajahnya yang cukup cantik. Sepertinya garis wajah Dian dominan dari mamanya.

“Vemia, tante !” jawabku.

“Ooo ... ini to De Vemia, berarti temen sebangku Dian ya?” sambungnya ramah. Aku hanya mengangguk tersenyum.

“Silahkan duduk dulu De, tapi maaf Dian masih tidur” katanya mempersilahkan aku duduk.

“Ngga papa tante, biarin istirahat dulu aja” kataku sambil mengambil tempat duduk.

Deg ... deg .... masih saja degup jantungku belum mereda. Kusengajakan pandanganku menyusuri seluruh ruangan bercat putih apel itu. Aku berusaha menenangkan gemuruh jantungku. Kemudian pandanganku berhenti memandangi sosok lelap di bangsal pembaringan ruangan itu. Dian tampak terlelap, wajahnya pias pucat, tampak lemah. Selang oksigen bagai belalai panjang terpasang di hidungnya. Layar monitor yang ada di situ tidak aku pahami menjelaskan apa. Yang jelas, semua itu membuatku semakin khawatir. Sakit apakah Dian? Separah apakah sakitnya hingga tubuhnya yang tampak lemah itu seperti tak menyisakan keceriaan dan keusilannya selama ini. Mana ekspresinya yang selalu tersenyum jahil? Mana semangatnya yang selalu menghibur? Oh ... Tuhan, kenapa Dian?

“Maaf tante kalo boleh tahu Dian sakit apa?” tanyaku pingin segera mendapat jawaban.

Sebelum memberi jawaban, Mama Dian tampak menghela nafas agak berat.

“Begini De Vemia, sebenarnya sakit Dian udah lama. Kira2 sekitar satu setengah tahun lalu. Awalnya Dian merasa pusing dan mual. Kami kira sakit pusing biasa, tapi lama kelamaan sakitnya seperti tak tertahankan. Akhirnya kami bawa ke dokter dan dijelaskan Dian kena kanker otak” jelas Mama Dian panjang.

Deg ... kembali jantungku seperti tersentak. Kanker otak ? Jawaban atas pertanyaan yang menggelayut selama ini malah mengagetkanku sendiri. Keranjang buah yang sedari tadi tetap ku bekap, terasa semakin lembab oleh keringat tanganku. Dan tanganku serasa bergetar, seperti sudah tak kuat menahannya. Aku tak mau getaran tanganku terlihat oleh Mama Dian. Dengan segera aku letakkan keranjang buah tadi ke meja terdekat.

“Dian kami pindahkan sekolahnya agar lebih deket dengan rumah sakit yang mempunyai peralatan lebih lengkap” sambung Mama Dian.

“Seberapa kondisi Dian tante” tanyaku kuatir.

“Menurut dokter, kankernya sudah stadium 3. Biasanya relatif sulit penyembuhannya. Mungkin saja ....” katanya tertahan. Aku penasaran dan semakin ketakutan.

“Mungkin Dian sudah tidak punya banyak waktu lagi. Dalam waktu dekat Dian akan kembali kepada-Nya” sambungnya.

“Tidak tante, Dian pasti sembuh. Kan Dian selalu bersemangat” kataku meyakinkan diri. Entah kekuatan darimana saat ini aku mampu berbicara lebih panjang dengan orang lain. Ada bayang ketakutan aku kembali kehilangan orang yang berarti dalam catatan hidupku setelah kehilangan Papa. Walaupun tidak ada ikatan apa2 antara aku dengan Dian. Tapi saat itu ketakutan itu tak bisa aku tahan.

Ku lihat, Mama Dian mengusap sebutir air mata yang hampir jatuh. Lalu beliau tersenyum :

“de Vemia benar, semoga Dian bisa sembuh. Tak ada yang menghalangi Kuasa Allah jika menyembuhkannya” sambungnya menguatkan diri.

“Oya, sebentar mau tante cariin minum dulu ya” kata Mama Dian kemudian.

“Ngga usah tante, ngga perlu repot2” jawabku basa-basi.

“Udah ngga papa, sekalian tante pingin beli sesuatu di luar, mumpung Dian masih tidur, tolong temenin Dian dulu ya, maaf lho” katanya dengan tetap nada ramah.

Sesaat sebelum Mama deian keluar ruangan, matanya tertuju ke benda di atas meja tempat aku meletakkan keranjang buah tadi. Ada origami bangau warna pink. Kali ini tidak dari kertas seperti biasanya. Kertasnya lebih mengkilap, lebih rapi.

“Oya, tante hampir lupa, Dian tadi bilang kalo De Vemia datang origami itu mau dikasihkan ke De Vemia. Sengaja dari rumah minta dibawain itu, Dian sendiri yang buat. Ambil aja !” Mama Dian menjelaskan yang tak urung mengagetkanku.

Aku ambil origami pink itu. Aku tertegun memandanginya, kenapa, apa artinya ... aku penasaran menunggu jawaban pertanyaanku ini. Tapi orang yang aku harap bisa menjelaskan kini terlelap lemah.

Krieett ... pintu kamar rawat itu dibuka. Hampir aku tak mempedulikan Mama Dian keluar kamar, hingga beliau pamit, “Tante tinggal bentar ya De”

“I ...iiya Tante” jawabku agak terkaget, agak malu rasanya.

Ruangan kamar itu menjadi sunyi. Aku seperti sendiri sebab Dian masih tampak terlelap pias. Perlahan aku mendekat ke samping pembaringan Dian. Sesaat aku pandangi wajahnya, getir aku mengingat sakitnya : Kanker Stadium 3 !

Sebenarnya aku ngga terlalu paham tentang penyakit ini, tapi kekhawatiran Mama Dian tentang kemungkinan hidup Dian yang mungkin sudah tidak lama lagi, tak urung membuatku ikut takut. Aku menggigit bibir sendiri menahan getir tadi. Perlahan air mataku menetes. Tanganku menutup mulut kuatir suara tangisku terdengar. Entah, air mataku semakin deras mengalir. Kakiku terasa gemetar tak kuat menopang tubuhku. Aku duduk di kursi tepat disamping pembaringan Dian.

Tergugu aku membayangkan sahabat terbaikku itu umurnya mungkin tinggal menunggu bulan, hari, jam, menit bahkan detiknya dari sekarang. Aku masih sesenggukan sendiri. Tangan kiriku masih memegang origami bangau pink yang dititipkan Mama Dian sebelumnya. Aku beralih memandangi origami itu, apa artinya warna pink yang pingin disampaikan ke aku, kenapa kertasnya kali ini berbeda, kenapa dalam sakitnya Dian masih berusaha memberikan origami ini ke aku ...pertanyaan2 itu belum menemukan jawaban.

“Hei ... kenapa nangis? Di sini dilarang, tau !” suara itu mengagetkanku. Ternyata itu suara Dian yang sudah terbangun. Belum berakhir kekagetanku, aku rasakan kehangatan menjalariku. Semakin kaget. Air mataku diseka oleh tangannya yang pucat. Aku semakin gemetar ...

“Ah ...ehm maaf !” aku bergetar menjawab. Buru2 aku seka sisa air mata yang masih mengalir.

“Sori aku tidur tadi, dah lama?” tanyanya lirih.

“Lumayan” jawabku.

“Sendirian?, Mamaku mana?” sambungnya kemudian.

“Iya, sendiri. Mamamu keluar sebentar katanya mo beli sesuatu” jawabku menerangkan.

Sesaat kami berdua terdiam, bingung aku mau bicara apa lagi. Aku tak sanggup menatap matanya yang sayu. Sepertinya Dian memperhatikanku, aku merasa salah tingkah, tapi masih terdiam.

“Oh ..ya makasih origaminya” kataku memecah keheningan, sambil aku perlihatkan origami bangau pink di tanganku. Aku masih belum berani beradu pandangan dengannya.

“Semoga kamu seneng Ve” jawabnya, sepertinya pandangannya masih memperhatikanku.

“Ve, untuk warna pink ini aku berusaha membuatnya beda dibanding yang sebelumnya. Tempo hari aku ragu pingin menyampaikannya ke kamu, sengaja aku simpan di kamar. Entah ini waktu dan tempat yang pas ngga aku memberikannya ke kamu di sini” paparnya panjang. Aku beranikan diri menatap wajahnya.

“Kenapa?” tanyaku lirih agak bergetar.

“Aku takut terlambat ...” kalimatnya seperti tertahan. Aku semakin lekat memandang wajahnya.

“Aku ingin dia terbang ke hatimu, bawakan hatiku” sambungnya dengan tetap menatap pandanganku. Tangan Dian bergerak memegang tanganku yang memegang origami pink itu.

Deg ....

Splash !! ... Selaksa ada guyuran air menyiram tubuhku. Dan aku seperti terbang melambung ke gugusan Galaksi Andromeda .... Aku tak mampu berkata, bahkan aku menunduk. Kembali campur aduk rasa batinku. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Aku berusaha kembali membumi.

“Kamu tak perlu menjawab apa2 Ve, tapi makasih telah memberi waktu aku mengatakan ini” katanya kemudian seperti memahami kebingungan perasaanku. Sebelumnya dan sampai saat itu sebenarnya aku tak ingin berharap lebih terhadapnya. Tapi saat itu, satu sisi tak bisa aku pungkiri kecemasanku atas penyakitnya, tapi satu sisi aku jelas melambung mendengar kalimatnya.

“Aku takut terlambat, sebab ...”katanya mengulang kalimat sebelumnya. Sebelum melanjutkan kalimatnya segera aku potong :

“Stop! Jangan ngomong seperti itu ...”kataku lebih karena kecemasanku terhadapnya.

Sesaat kami sama2 kembali terdiam, sibuk dengan pikiran masing2.

“Dian, boleh tanya sesuatu ngga?” tanyaku agak ragu. Dian kembali menatapku tanpa menjawab.

“Sebelum kamu pingsan di sekolah kemarin, aku menemukan origami bangau abu2 yang terjatuh dari dalam tasmu. Apa itu memberi firasat sakitmu ini ...?” tanyaku masih dengan nada ragu.

Dian tidak menjawab, tetapi malah tersenyum tengil seperti selama ini di kelas. Mungkin bisa jadi Dian seperti pingin tertawa terbahak, membuatku semakin penasaran mendengar jawabnya.

“Bener ngga Dian?” tanyaku mengejar jawabannya. Bener Dian malah tertawa agak tertahan tidak seperti biasanya.

Krieettt ... pintu ruang kamar dibuka. Aku agak kaget mendengarnya.

“Maaf lama ya De? Agak ngantri tadi” kata Mama Dian sambil masuk ke ruang kamar mendekat ke kami, memutus jawaban penasaranku.

“Ough ... ngga papa Tante” jawabku basa-basi.

“Lho kamu dah bangun ya, malah dah ketawa gitu” sambung Mama Dian menghampiri.

“Ya jelas dah bangun gini kok Ma, mata juga dah melek lebar gini masa mo dibilang masih tidur” jawab Dian kumat tengil seperti biasanya.

“Ih, kamu ini lagi sakit tetep aja tengil gitu” kata Mama Dian tampak gemes dengan polah anaknya itu.

Dan kami tertawa bersama. Aku merasa nyaman, sangat nyaman menikmati suasana saat itu. Selama ini aku membiarkan diriku larut dalam kesedihan ditinggal Papa. Bahkan ke Mama pun aku jarang merasakan kehangatan seperti itu. Bukan karena Mama, tapi aku yang selalu menutup diri. Mama mungkin sudah habis akal berusaha membuatku kembali ceria. Aku merasa berdosa kepadanya. Makasih Dian dan mamanya yang mengembalikan rasa bahagiaku saat itu ....

TO BE CONTINUED ... lagi deh, sabar ya nunggu lanjutannya sb aku harus semedi dulu

0 komentar:

Posting Komentar