“Eh, Mia ! ehhmm ... aku boleh pinjem pe-ermu yach ?” Dinda yang pertama
bilang sebelum yang lain.
“Mia ! aku ngikut pinjem juga yach ...plisss, Mia imut deh !” si centil
Saskia menyusul kemudian.
“Oya, aku juga pinjem ya, habis kelupaan sih, boleh ya, boleh !” beberapa
dari mereka merajuk dan merajuk lagi.
Dan aku tak pernah berkata TIDAK ke mereka, selalu dengan dingin aku
berikan catetan PR-ku menjadi rebutan mereka. Yang menyebalkan setiap kejadian
seperti itu berulang, kemanisan dan keramahan mereka ke aku tak pernah lebih
dari setengah jam. Lima, enam jam berikutnya mereka akan kembali mengacuhkanku.
Membiarkanku sendiri, setelah ‘kebutuhan’ contekan mereka terpenuhi. Yach ...
aku bener2 dibiarkannya sendiri, bahkan di kelas ini hanya aku yang duduk tanpa
teman sebangku, paling belakang pojok kiri. Aku bener2 sebel dengan polah dan
gaya mereka ini. Tapi karena mungkin selalu terulang, terkadang aku sudah tak
mengacuhkannya, tak peduli!.
Terkadang aku sendiri bertanya kenapa mereka bersikap seperti itu padaku.
Apakah aku bener2 gadis yang dingin, jutek, kuper, ga gaul, ga asyik seperti
yang sering aku dengar dari celoteh mereka? Mungkin mereka ada benernya juga.
Aku tak pernah merasa nyaman ngobrol dengan mereka tentang gosip, tentang
boyband, tentang girlband, tentang fashion ala2 bintang K-Pop yang sekarang
mereka gandrungi. Bagiku, semua itu apalah artinya, ga penting !. Mereka tak
pernah merasa ‘nyambung’ ngobrol dengan aku. Dan aku lebih memilih membaca buku
di kelas ato pun di perpustakaan. Sendiri ! Dan aku seringkali juga merasa
nyaman dengan kesendirianku ini. Tokh aku tak merasa mengganggu mereka, itu
alasanku.
Walaupun terkadang aku pun merasa galau dengan kesendirianku. Pingin bisa
asyik berbaur dengan mereka. Sebab aku
dulu pada dasarnya juga mampu ceria. Tapi sejak meninggalnya Papa sekitar empat
tahun lalu dalam sebuah kecelakaan motor, aku menjadi penyendiri dan pendiam.
Papa menjadi korban tabrak lari oleh sebuah mobil yang hingga saat ini tak
pernah tahu siapa penabraknya. Aku belum mampu menerima kepergian Papa yang
mendadak seperti itu. Aku masih sering menangis mengingatnya terlebih ketika
aku sambil memeluk boneka panda pink yang dibawanya saat itu, demi aku kangen
pelukan Papa ......................................................
Tanggal 29 Februari, hari ulang tahunku, menjadi hari yang berbeda. Aku
lahir pada tahun kabisat. Hanya empat tahun sekali tanggal ini terulang. Yang
terasa lebih menyesakkan, pada tanggal itu empat tahun lalu Papa meninggal
membawa hadiah boneka panda pink untukku. Hari itu tak ada perayaan ulang
tahunku. Aku tak sanggup bersenang merayakan ulang tahunku, pada tanggal itu,
Mama pun telah jauh hari sebelumnya menyampaikan hal ini. Aku berdua dengan
Mama lebih memilih mengenang Papa, walaupun deras air mata yang lebih banyak keluar.
Tanggal itu aku tetap berangkat ke sekolah. Seperti hari biasanya, teman2
juga tidak ada mengingat dan peduli bahwa tanggal itu adalah ulang tahunku, dan
aku tak mempedulikannya. Aku tak pernah mempersalahkan semua itu. Tapi
.....kemudian, kenapa harus ada dia? Dan perkenalan itu, tatapan itu, senyuman
itu akan mengubah semuanya. Mengubah keseharianku, mengubah gairahku ....
“Pagi anak-anak !” Bu Andri wali kelasku masuk bersama seorang cowok yang
belum dikenal di kelasku.
“Kita hari ini kedatangan murid baru, namanya .....” dan tiba2 aja cowok
itu langsung menimpali :
“Hei semua, Aku Dian, lengkapnya Herdian Hendra Saputra, pindahan dari
SMA Tunas Bangsa, salam kenal semua !”
Ukh ...PD banget tuh anak bahkan bagiku cenderung norak dengan gayanya
yang sok seperti itu. Temen2 cewekku mulai saling berbisik dan seperti berebut
perhatian. Emang sih aku liat sekilas dari belakang, lumayan cakep tuh anak,
setidaknya dibanding temen2 cowokku di kelas.
Belum habis rasa ill feel-ku terhadap sikap yang menurutku sok tadi, aku
seperti dikagetkan ucapan Bu Andri kemudian :
“Nah, perkenalan cukup ! ... Dian silahkan duduk di samping Vemia di
pojok belakang itu!”
Apa ...?! Dia ...?! harus duduk di sampingku? Dunia seperti berputar dan
berputar, sampai2 aku merasa mual olehnya. Aku sepertinya malah menjadi salah
tingkah, kikuk, terlebih beberapa temen terutama cewek berbarengan,”Huuuuu
...!” sambil cekikikan, entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Kesel, ngiri,
ato ga tahu apalah perasaan mereka. Padahal bagiku tetep aja anak baru itu
norak n sok.
Setelah Dian duduk di samping kananku, aku semakin kikuk, diam. Teman2
yang lain sepertinya kasak-kusuk ga jelas apa yang diomongin mereka.
“Aku duduk di sini ya? Oh ya ... namaku Dian, ehhmm kalo kamu?” tanyanya
menjulur, tepatnya menggantung tangannya. 1 detik, 2 detik, 3 detik ....tik tok
tik tok ...
“Aku Vemia!” jawabku sambil menunduk tak memperdulikan juluran tangannya,
mungkin terdengar ketus.
Hanya itu yang mampu aku ucapkan. Setelah seperkian detik menanti jawaban
dariku tadi, ternyata hanya itu yang mampu aku ucapkan. Hanya dua kata ! Dan
aku tak mempedulikan apakah Dian tersinggung ato ga karena aku tak menyambut
jabatan tangan yang dijulurkannya, terlebih dengan jawaban ketusku tadi. Aku
masih merasa bener2 ill feel terhadap sikapnya ...
“Okay ... salam kenal” ucapnya cuek.
Tangannya langsung mundur teratur. Dan, herannya Dian seperti mengambil
selembar kertas hijau dari dalam tasnya. Tangannya cekatan melipat. Lipat
kanan, lipat kiri, tekuk atas ...sesaat kemudian kertas hijau tadi telah
berubah bentuk menjadi origami burung bangau. Aku tetap bersikap tak peduli,
acuh.
“Ini ... burung bangau hijau. Hijau artinya persahabatan. Aku ingin dia
terbang ke hatimu dan menyampaikan salam persahabatan dariku” ucapnya PD dan Dian
menyerahkannya kepadaku sambil tersenyum.
Deg !! Aku malah blingsatan, semakin salah tingkah, padahal seisi kelasku
sepertinya tak ada yang melihat adegan itu. Mereka asyik memperhatikan ke arah
catatan di papan tulis. Mukaku terasa memanas, mungkin terlihat memerah ...
tapi kupastikan itu bukan karena sikap marah atas sikapnya. Degup jantungku berdentum
semakin keras, tanganku berkeringat. Kenapa aku ini? Kobaran api ill feel-ku
beberapa saat tadi seolah padam tersiram air yang membarengi senyumnya ....
Aneh ...rasaku. Dan terasa lebih aneh lagi aku mampu menerima pemberian
origami bangau hijau itu. Bahkan aku sanggup tersenyum, membalasnya, ”Makasih
...” kataku pelan mungkin terdengar parau.
Aaccchhhh ....entahlah apa yang terjadi dengan diriku saat itu.
................................................
Selama beberapa hari kemudian, Dian tetap melakukan hal itu. Ya,
membuatku bahagia dengan origami bangaunya. Anehnya, hanya aku yang dibuatkan
origami bangau, sementara temen lain bentuk kupu, ikan, pinguin, kucing dan
bentuk2 lain. Selalu saja origami bangau hanya diberikannya untukku. Dan setiap
bangau yang dibuatnya, selalu diucapkan arti yang berbeda setiap warna ...
“Bangau warna kuning, ...agar kamu
selalu ceria”
“Warna biru untuk dirimu yang tenang mempesona”
“Warna ungu muda, karena kamu mampu menenangkan hatiku”
Terdengar seperti menggombal, tapi ternyata aku mampu tersenyum setiap
menerimanya. Dan semuanya selalu saja aku bawa pulang, aku simpan di meja
belajarku.
“Terima kasih Dian” selalu hanya kalimat itu yang mampu aku ucapkan
setiap menerima pemberian origami bangaunya. Padahal, seandainya kamu tahu,
sepertinya kamulah cowok pertama di kelas ini yang aku beri ungkapan kalimat
seperti itu. Kamu lah yang pertama menerima senyumku lebih dari 3 detik. Kamu
lah yang telah memberi secercah gairah
riangku. Walaupun semua itu tak pernah secara nyata aku tunjukkan di hadapan
temen2, termasuk kamu. Di hadapan mereka aku masih terlihat diem, cuek tak
acuh. Di hadapanmu aku telah mampu tersenyum ....
Dan aku tak pernah merasa marah ketika sesekali Dian pinjam catatanku.
Alasannya dia pingin mengejar ketinggalan pelajarannya. Aku percaya, dan aku
merasa nyaman membantunya.
Di luar itu ...
“Ihh ... Dian kok kayanya tambah akrab aja ama Si Culun Vemia itu”
“Apaan tuh ? Dikasih kertas bangau segitu aja Ge-eR, norak!”
“Jangan ngarep deh Mia sama Dian”
“Ah ... biarin aja, tokh Dian cuma menganggapnya temen sebangku, ngga
mungkin lah !”
Kasak-kusuk mulai sering terdengar jelas di telingaku. Nyaring sekali. Ah
... biarin aja. Tokh seperti itu sudah biasa mereka lakukan ketika tidak
membutuhkanku. Dan aku juga sudah terbiasa tidak mempedulikannya ...
Waktu terus berlalu, dan ternyata hampir tiga bulan sudah aku berada
sebangku dengan Dian. Dengan keceriaannya, dengan perhatiannya. Dan aku tak
perlu merasa perlu berharap lebih dari dia, terlebih kepada siapapun di kelas
bahkan di luar kelasku pun Dian seperti bersikap sama. Ceria, akrab dan
perhatian. Hanya satu yang beda ...tentang origami bangau. Ya ...hanya aku yang
diberinya. Jelas aku sedikit merasa tersanjung, tapi sekali lagi aku tak berani
mengartikannya lebih.
Beberapa hari terakhir ini Dian tak membuatkanku origami bangau lagi.
Mungkin Dian telah kehabisan ide, pikirku. Hari Sabtu itu, aku juga tak melihat
Dian melipat kertas origami. Tapi sejenak sebelum istirahat pertama ada yang
jatuh dari dalam tas Dian. Saat itu dia telah asyik berbaur dengan teman2 di
luar ... Aku mengambilnya, origami abu-abu. Kapan Dian membuatnya, jelas bukan di kelas
tadi. Kira2 mau diberikannya ke aku lagi ngga ya ? ... Kenapa ngga langsung
diberikannya ? Warna abu-abu kira2 maksudnya apa ? Sekian banyak tanya dalam
benakku ...
Aku hanya mencoba melihat tingkah polah temen2ku yang di luar dari dalam
lewat jendela kelas. Tak terkecuali yang aku lihat Dian yang berada di antara
sekumpulan temen2 cowok. Entah apa yang mereka obrolkan, tapi mereka asyik
ketawa ketiwi termasuk Dian. Sesekali aku lihat Dian memijit-mijit dan memegang
kepalanya termasuk ketika masih di dalam kelas, di sampingku tadi. Aku
sebelumnya juga tidak mencoba bertanya kenapa, termasuk aku ngga sempat
bertanya kenapa wajahnya nampak sangat pucak. Dian juga tidak menunjukkan kalo
dia merasa sakit. Di luar sana Dian masih asyik bercanda. Dan dalam
penglihatanku dari jauh, Dian kembali memegang kepalanya, terlihat limbung ....
dan akh apa yang terjadi dengan Dian, dia jatuh tergeletak !
Temen2 panik, beberapa menghampirinya, mengerumuninya, hingga tubuh Dian
tak tampak dari penglihatanku. Ya ... Allah kenapa Dian ? Apa yang terjadi
dengannya ? Sesaat kemudian atas instruksi Pak Tanto, Guru Olah Raga, Dian
terlihat dibopong ke ruang UKS.
Aku panik bahkan ketakutan, tapi tak mampu ikut mendekat untuk sekedar
lebih tahu apa yang terjadi dengan Dian. Sesaat kemudian bel tanda masuk kelas
berbunyi, teman2 mulai membicarakan yang barusan terjadi dengan Dian, mereka
juga cemas, tapi tak ada yang mampu memberikan jawaban apa yang sebenarnya
terjadi, Dian mendadak pingsan. Hanya itu.
Hingga pelajaran sekolah hari itu usai, Dian tidak kembali ke kelas.
Kabarnya dia langsung dibawa ke rumah sakit. Entah, aku semakin takut
mendengarnya. Aku takut dia tak kembali berada di samping dudukku. Aku takut
tak bertemu dia lagi. Semua kekhawatiran terhadapnya semakin menghantuiku hari
itu ...
Di rumah, di dalam kamar aku keluarkan origami bangau abu-abu yang
terjatuh tadi dan sengaja aku bawa. Aku bertanya dalam hati, “Mungkinkah warna
abu-abu ini memberi firasat buruk tadi?”
“Yaa Allah ...selamatkanlah dia,
jagalah dia untukku. Sebab dia yang telah memberi warna dalam keseharianku
sejak tanggal 29 Februari itu ...” tanpa sadar aku telah bergetar terisak
mengiringi doaku untuknya, sambil memegangi origami bangau abu-abu ....
TO BE CONTINUED
0 komentar:
Posting Komentar