16.19

ORIGAMI ABU-ABU (3-TAMAT SEMENTARA)

Setelah sekian aku tertunda akhirnya perlu 'memaksa' diri untuk melanjukan tulisan ini. Ternyata banyak yang penasaran n nanya kapan kelanjutannya hehe (jadi sedikit tambah PD). Lansung aja deh disimak ...eits yang belum baca cerita sebelumnya bisa disimak ini dulu : Bagian Satu dan Bagian Dua 
-----------------------------------------------------

Pagi. Aku masih berbaring di ranjangku. Tidak, aku tidak mengantuk sama sekali. Aku hanya ingin berbaring lebih lama lagi. Bermimpi lebih lama lagi. Bermimpi tentang semuanya, aku, Dian, dan origami bangaunya. Rasanya seperti mimpi saja aku mengalami hal-hal yang mampu mengubah hidupku yang selalu kaku. Mimpi bertemu Dian di hari itu. Aku tersenyum sendiri.

Kini aku membayangkan lagi. Aku masih mengingat betul setiap kata-kata yang dia ucapkan di rumah sakit beberapa hari yang lalu. Kata-kata yang sedemikian bisa membekukanku dalam sekejap, membuatku berhenti berkata-kata. Bahkan, mampu membuatku (dengan sejenak) melupakan kecemasanku akan penyakit yang dideranya. Aku baru menyadari, terkadang hanya dengan kata-kata, kita bisa merubah segalanya.Semuanya, termasuk perasaanku.

Ah.. se-klise itukah perasaanku? Bukankah kemarin-kemarin perasaan itu hanyalah perasaan seorang teman sebangku yang merasa khawatir temannya sakit? Bukankah hanya perasaan berterima kasih atas segala sikapnya terhadapku, atas kepeduliannya, atas keramahan, dan atas setiap origami burung bangau yang khusus dia  buat untukku? Hanya sekedar ‘itu’ kan?

Entah sejak kapan aku mulai menyadari perasaan ini bukan hanya sekedar teman, ah.. aku tidak bisa menjelaskannya. Sejak kapan coba aku selalu bahagia setiap menyimpan origami pemberiannya di kotak khusus. Lalu, nanti tersenyum-senyum sendiri setiap mengingat setiap arti dari warna burung bangau tersebut. Ah... kalau tak salah Dian memberikanku yang warna hijau saat berkenalan dulu. Origami bangau itulah yang membawakan pesan perkenalan darinya. Origami yang menjadi kunci untuk membuka hatiku.

Aku tersenyum lagi. Hei! Ini senyuman keberapa kali sejak Papa meninggal? Bukankah aku selalu murung sejak kematian papa dulu? Aku selalu mengurung diri dan menjauhi teman-teman di kelasku. Entahlah… setidaknya aku tahu jawaban dari pertanyaan siapakah yang mampu membuatku tersenyum lagi. Siapa lagi coba kalau bukan Dian dan semua origami buatannya.


Aku melihat jam weker di samping tempat tidurku. Ah.. sudah hampir terlambat untuk bersiap-siap. Aku bergegas mandi dan menyiapkan baju terbaikku. Kurang dari sepuluh menit aku sudah rapi dengan kemeja hijau toscaku, cardigan warna putih, dan sepatu kets warna senada dengan kemejaku. Ini hari Minggu dan aku akan menjenguk Dian di rumah sakit. Sebenarnya sih, untuk memenuhi janjiku dengan Mamanya Dian tempo hari. Sederhana saja, hanya memintaku menemani Dian.

                                                                 ******
Jujur, aku kurang menyukai rumah sakit. Baik bau obat antiseptiknya, erangan pasien yang kesakitan, atau tatapan nanar dari keluarga pasien. Tatapan itu seakan memperlihatkan harapan yang perlahan hilang. Tatapan yang mrnyiratkan bahwa inilah waktunya untuk berpamitan dengan orang yang disayang.

Tapi, tidak untuk Dian. Aku yakin, meskipun ia sakit, ia takkan memasang tatapan tadi. Dian yang kukenal selalu terlihat ceria dan menganggap semuanya akan baik-baik saja. Mana mungkin dia akan memasang wajah seperti itu bukan?

Suara sepatu ketsku berbunyi mengiringi langkahku di lorong rumah sakit ini. Aku terus berjalan. Aku ingin segera menemui Dian dan menemaninya. Tapi, langkahku terhenti di depan ruang inap Dian. Entah, ada perasaan gugup dan malu saat aku hendak membuka knop kamar itu.

Tepat sebelum aku berhasil memmegang gagang pintu, pintunya sudah terbuka sendiri. Kali ini bukan Mamanya Dian, melainkan dokter dan suster-susternya. Aku agak menyingkir dari depan pintu untuk memberikan jalan bagi mereka. Lagipula,suster itu mendorong troli berisikan obat-obatan dan jarum suntik. Mungkin selesai memeriksa kesehatan Dian.

Menyadari aku masih termangu di depan pintu, Mamanya Dian menyapaku,” Eeh.. Nak Vemi! Ayo sini masuk, udah lama ya?” Aku tersadar dari lamunanku dan tersenyum malu. 

“Engg…enggak kok Tante. Barusan aja datang kok.”

Aku kembali mengenali setiap sudut ruangan ini. Masih sama seperti kemarin. Tapi setidaknya, aku merasakan suasana yang berbeda. Setidaknya tidak ada lagi perasaan cemas itu. Itu  hanya akan menambah kekhawatiranku. Lagipula, Tante memberitahukanku kemarin, untuk tidak memasang wajah cemas agar Dian tidak merasa bersalah telah membuat orang-orang di sekitarnya cemas.


Ah..lihat! Apalagi yang harus dicemaskan? Dian terlihat baik-baik saja. Malah lebih baik daripada yang kukira.Yaah…meskipun raut mukanya terlihat capek, tapi setidaknya Dian sudah tersenyum ramah seperti biasanya.

“Hai?!” Sapa Dian ragu saat aku mendekatinya.

“Oh..Eum hai juga Di. Oh ya gimana kabarmu?” sapaku balik dengan canggung.

“Apa ya? Rahasia dong.” Jawab Dian dengan menjulurkan lidahnya. Sikap usil Dian muncul lagi.

“Ish..jangan gitulah sama cewek Di. Usil terus dari dulu kamu tuh ya?” kali ini mamanya Dian yang membalas keusilannya Dian sambil mebmbawakan kursi lipat untukku duduk. Diannya sih hanya memasang muka tak bersalah. Aku? Hanya bias tertawa kecil melihat Dian dimarahi mamanya.


“Ohya nih Ve! Origami hari ini, warna merah. Merah artinya semangat, aku ingin….”

“Dia terbang ke hatimu biar kamu semangat terus” ujarku memotong kata-katanya sambil tersenyum kecil.

Wajah Dian langsung memerah semerah origami bangau buatannya.” Bukan gitu yee.. Aku awalnya mau bilang artinya keberuntungan biar kamu enggak sial kok!” bantah Dian untuk menutupi rasa malunya.

“Ciee…kok malu-malu gitu Di?! Bukannya kamu yang bilang sendiri ya kalo merah artinya semangat? Kan Vemi cuma nglanjutin kata-katamu. Kamu ini gimana sih? Jadi orang kok plin plan gitu?” tawa Mama Dian terdengar setelah melihat sikap malu-malu anak semata wayangnya itu.

Aku kembali tersenyum melihat rona wajah Dian yang semakin memerah setelah diledek mamanya sendiri. Mungkin, wajahku juga memerah seperti Dian kali ini. Entahlah, setidaknya aku selalu menikmati suasana hangat seperti ini.

Aku melihat origami bangau merah yang ada di tanganku. Semangat? Ah…harusnya yang mengucapkan itu aku, bukannya Dian. Dalam sakitnya, bahkan ia sempat meimikirkan untuk membuat origami ini untukku. Hanya untuk membuatku semangat menjalani hidup lagi. Mataku mulai berkaca-kaca terharu. Tapi, dengan segera aku menyekanya. Tidak! Kali ini tidak boleh ada tangis ysng jatuh. Bukannya Dian yang memintaku khusus untuk selalu semangat? Ya, pasti selalu ada harapan esok pagi. Harapan bahwa Dian akan benar-benar sembuh.


Tepat saat aku hendak pamit untuk pulang, tepat saat itulah Dian benar-benar mengungkapkan perasaannya.

Dian meminta waktu dariku barang lima menit untuk membicarakannya. Bahkan Dian meminta izin ke mamanya agar bias hanya berdua denganku. Mamanya diminta keluar sebentar. Ini benar-benar serius, katanya.

Sambil tersenyum usil dan menjentikkan sebelah matanya kepadaku, Tante pamit keluar dari kamar. 

“Lihat Ve, ekspresinya serius sekali. Ini jarang lho! Sepertinya benar-benar serius deh” bisik Tante padaku. Eh? Aku malah tambah kikuk.

Senyap sesaat setelah pintu berdebam ditutup oleh Mamanya Dian. Aku hanya menundukkan pandanganku, berusaha menutupi rasa gugupku dengan sibuk mendentum-dentumkan sepatu ke lantai. Sementara Dian? Dian hanya menatap langit sore ini dari balik jendela kamar inapnya. Dia berkali-kali mendesah panjang, berusaha menghitung situasi dan waktu yang tepat untuk berbicara, mungkin. Setelah hitungan entah keberapa Dian mendesah panjang, ia menatapku yang tertunduk.

“Ve, aku enggak tahu ini waktu yang tepat atau bukan, tapi aku mau ngomong sesuatu sama kamu” ujar Dian tertahan.

Aku tetap diam mendengarkan.

“Mungkin ini susah buat kamu mahamin, tapi aku ingin kamu…”

Itu jelas kalimat basa-basi. Sejak kapan coba aku merasa susah dengan sikapnya, dengan ucapannya. Seingatku, terakhir kali aku merasa susah, itu saat pertama kali Dian datang dan duduk sebangku denganku. Hanya itu. Selanjutnya aku tak pernah ambil pusing dengan semua tingkahnya.

“Aku ingin kamu enggak menjengukku lagi, apapun itu alasannya.”
Eh?! Aku mengernyitkan alis, memandangnya dengan tatapan heran.

“Aku tahu Ve, kamu pasti diminta Mama buat jengukin aku terus. Tapi, jujur aku enggak butuh kamu jengukin. Aku enggak cukup penting untuk dijenguk. Lagian kan, kamu punya banyak tugas di sekolah bukan? Kasihan kamunya kalo terbebani dengan permintaan Mama.”

Aku kehilangan kata sebentar. Tidak! Aku tidak pernah merasa terbebani dengan permintaan tante. Aku malah senang jika aku bias berada di dekat seseorang yang mampu membuatku nyaman. Lagipula, aku hanya ingin membalas kebaikannya dengan memberinya semangat. Hanya itu!
Apakah salah jika seseorang ingin berada di dekat orang yang membuatnya nyaman selama ini? Salah jika aku hanya ingin membalas kebaikannya? Rasanya aku ingin segera marah di hadapannya. Tapi apa? Aku hanya bias kembali menundukkan kepala lagi. Berusaha sibuk meremas-remas ujung bajuku untuk meluapkan kemarahanku.

“Oh ya, karena mungkin sore ini adalah sore terakhir aku ketemu kamu, ini, origami terakhirku untukmu. Origami burung bangau warna abu-abu. Abu-abu artinya perpisahan. Awalnya sih, aku mau ngasih salam perpisahan ini ke kamu pas di sekolah waktu itu, tapi aku malah pingsan duluan. Makanya, origami abu-abu ini baru aku kasihin ke kamu hari ini.” Dian diam sejenak, memberi jeda bicara. Tapi, tangannya masih menjulurkan origami itu.

Mukaku panas, mataku mulai berair. Aku hendak marah. Tapi, bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin aku bisa marah kepada orang yang telahmembuatku tersenyum lagi? Tanganku gemetar,  masih berdiam di tempat, tak segera mengambil origaminya.

Benar,aku tersinggung dengan ucapannya. Bagaimana bias Dian mengucap salam perpisahan untukku, bahkan sebelum aku bias dengan jelas memahami perasaanku sebenarnya. Lantas, buat apa Dian memberikan warna-warni origami setiap harinya, jika pada akhirnya nanti Dian sendiri yang memaksaku menjauhi dirinya dengan alasan konyol begitu. Pertanyaan retoris bertubi-tubi muncul dalam kepalaku. Dian ternyata sama saja seperti Papa, begitu saja pergi meninggalkanku.

Akhirnya dengan bergetar aku menjawabnya,” Maaf, aku enggak bisa terima.” Aku masih berusaha menahan tangisku saat akhirnya Dian tetap berkutat menjulurkan tangannya. Bahkan setelah aku berkata begitu.

“Please Ve. Kali ini aja Vemia. Tolong terima origami terakhirku ini. Aku tahu ucapanku keterlaluan, tapi aku punya alasan pasti kenapa aku nglakuin ini. Aku..”

“Beneran Di, aku enggak bisa. Bukannya…bukannya kamu yang bilang kalau hidup harus selalu semangat? Kenapa sekarang kamu malah nyebut kata perpisahan yang belum pasti datengnya kapan.” Aku sempurna bersiap pergi dari ruangan ini. Sempurna juga mulai menatap sepatuku, bergetar menahan tangis.

Tes…
Satu tetes air mata terjatuh di lantai keramik. Cepat-cepat aku menyeka air mataku yang mulai menetes lagi. “Maaf, aku permisi dulu.”

Apa tadi janjiku pagi ini? Tak boleh menangis untuk hari ini? Tentu aku masih ingat dengan janjiku itu. Tapi…Ya Tuhan, entah mengapa tangan ini masih bergetar saat berusaha menyeka setiap airmata yang makin deras mengalir.

“Permisi, Tante. Vemi mau pulang dulu.” Ucapku berusaha tersenyum. Tapi, Tante pasti akan tahu kalau aku menangis. Sebelum disadari, aku sudah terlalu buru-buru berjalan melewati lorong rumah sakit.

Harapan? Aku masih menyimpannya di lubuk hatiku. Bahkan di sela-sela tangisku, aku masih berdoa untuk harapanku, harapan Dian, harapan tante, dan harapan semua orang yang mengenal Dian. Ya, aku selalu menyebut harapan kesembuhanmu, Dian. Selalu.

Beberapa hari setelah kejadian di rumah sakit, aku benar-benar tak pernah menemui Dian. Ah..bahkan aku masih ingat sekali detail setiap kata-katanya.Setiap desahan panjangnya di sore itu. Aku benar-benar tak percaya ia mengusirku dengan halus.

Hhh..
Kulirik lagi bangku di sampingku yang sudah lama kosong itu. Benar-benar kosong. Entah mengapa, perasaan kosong ini semakin terasa setelah Dian opname. Aku merasa aneh. Bukankah dulu-dulu aku selalu terbiasa dengan kekosongan, kesendirian, atau entahlah apa namanya itu. Tapi, kenapa aku mempermasalahkan kesendirian itu sekarang. Aku tak menemukan definisi yang tepat untuk menjelaskan pertanyaanku sendiri.

Hari-hariku terasa hambar kembali. Sama seperti dulu, aku hanya siswa biasa yang menjalankan rutinitas biasa. Teman-teman di kelas pun merasa sudah biasa lagi dengan kembali meminjam buku peerku. Bedanya, kalau dulu aku merasa sebal setiap kali bukuku dipinjam, kali ini aku sudah acuh, tak peduli.

Semakin aku merasa sepi, semakin lama aku memendam diri, berkutat di buku-buku tebal pelajaran. Berusaha belajar sekeras mungkin. Apapun itu, setidaknya bisa membuatku melupakan, walaupun sejenak. Mungkin, yang kupelajari bukanlah soal pelajaran sekolah lagi, melainkan pelajaran bagaimana cara melupakan.

Sama seperti siang ini, aku kembali berkutat di depan buku-buku pelajaranku. Aku hanya sibuk melamun sambil memainkan bolpenku. Tidak tertarik sama sekali untuk membaca buku di hadapanku. Lagipula, tugasku sudah kuselesaikan satu jam yang lalu. Sampai tiba-tiba…

Ting tong ! Ting tong!

Aku langsung berhenti memainkan ujung bolpenku. Ada tamu? Siapa? Tanyaku dalam hati setelah tersentak dari lamunanku tadi. Buru-buru aku berlari mendekati pintu depan rumah. Mungkin, Mama sedang pergi ke luar rumah. Lagipula, kasihan ‘kan kalau ada tamu dibiarkan menunggu lebih lama.

Kreek…

“Eh..tante?!” Aku sedikit terkejut melihat Mamanya Dian ada di depan rumahku. Dengan sedikit canggung aku mencium punggung tangannya dan mempersilahkan masuk ke dalam.

“Mari Tante,masuk dulu. Vemi buatin minum dulu ya Tan.” sapaku ramah.

Setelah aku membawakan minuman dingin, aku segera duduk di sofa, tepat di hadapan Mamanya Dian.

“Kok kesini nggak bilang-bilang dulu Tan?”

“Maaf kalo Tante nggak kasih kabar dulu, lagian Tante kan kesini cuma mau silaturahmi sama nengokin kabar kamu aja. Soalnya kamu kok kayaknya udah jarang ke rumah sakit gitu.”

Leherku tercekat. Aku tidak bias berterus terang tentang kejadian di sore hari itu. Akan semakin rumit masalahnya jika aku menceritakan kejadian sebenarnya. Nanti, malah Tante merasa bersalah. Aku jelas gugup, memikirkan jawaban terbaik yang akan kuberikan kepada Mamanya Dian.

“Eum… enggak ada apa-apa kok Tante. Cuma, akhir-akhir ini lagi banyak ulangan harian aja.” Aku sedikit berbohong. Aku tahu ini  salah, tapi bagaimana lagi? Aku semakin tak tega jika harus melihat wajah sayu berkerudung merah marun di hadapanku ini.

“Oh..kukira kamu lagi ada masalah sama Dian.” Aku hanya bias tersenyum menangaggapi.

“Ohya, ini tante bawain sesuatu buat kamu Nak Vemi.” Tangan Mamanya Dian dengan cekatan membuka ritseleting  tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dengan hiasan bunga.

“Ini tadi pagi Dian nitip. Aslinya disuruh besok aja, pas Dian operasi. Tapi, Tante pikir, bakalan lebih baik kalau kamu ndapetin sekarang. Kali aja ada sesuatu yang penting.”

Deg…
“Operasi Tante? Besok? Kok Ve nggak tahu ya?” tanyaku menyelidik.

“Lho, Dian emangnya enggak ngasih tau ya?Duh..masa temen sendiri lupa dikasih tahu sih?!”

Tenggorokanku makin tercekat. Aku jelas mengetahui bahwa diriku sudah tidak dianggap lagi di kehidupan Dian. Jika sikapnya seperti ini, jelaslah kalau Dian benar-benar menutup perjumpaan denganku. Aku sudah hilang dari kehidupan Dian.

“Kalau Nak Ve mau dateng nemenin tante saat operasi Dian, tante bakalan bahagia banget. Nak Vemi bisa?”

“Insya Allah, Tante. Nanti kabarin Vemi kapan jam operasinya ya, nanti Vemi usahain dateng kok.”
Mamanya Dian mengangguk manis.” Kalo gitu Tante permisi dulu ya? Kasihan Dian kalo ditinggal lama.” Tubuhnya pun semakin menghilang seiring langkahnya meninggalkan rumahku.

Tik..tik…
Suara jam yang berdetak memenuhi setiap sudut kamarku yang sunyi. Sedangkan aku, hanya tiduran di kamarku sambil sibuk memainkan kotak putih pemberian Dian. Jelas, aku penasaran dengan isi kotak putih ini. Kotak itu masih sama seperti tadi. Masih terbungkus rapat.

Aku masih ragu untuk membukanya. Takut akan kemungkinan2 yang akan terjadi jika aku membuka kotak itu. Aku terlalu takut untuk menduga-duga. Aku kembali  menimang-nimang kotak itu. Oke, baiklah.Mungkin sudah waktunya memutuskan untuk membuka kotak ini. Dengan perlahan,aku membuka tutup kotak itu perlahan.

Deg..

Seakan setelah seperseribu detik aku memberanikan diri. Setelah itu juga, sepersekian detik selanjutnya hatiku mencelos kecewa. Isi dari kotak itu yang membuatku lemas seketika. Origami itu. Origami abu-abu yang belum tersampaikan kepadaku. Origami itu kini sempurna di hadapanku, di dalam kotak yang sedari tadi membuatku penasaran.

Tes…

Apa yang kemarin Dian bilang? Origami terakhir? Mungkin. Kupikir setelah selama salam terakhir ini, Dian tidak akan membuatkanku origami lagi. Tidak akan ada lagi origami warna-warni yang akan menghiburku di sela2 jam pelajaran. Tidak akan ada lagi teman sebangku yang rela bersusah payah mengajak bercanda orang sejutek aku lagi. Dan kali ini, aku benar-benar terdiam, tidak bisa berkata-kata lagi.

Satu  air mataku jatuh menimpa origami. Eh? Aku melihat ada bekas tinta yang memudar dari balik lipatan origami itu. Suratkah? Tapi, bukankah selama ini Dian tidak pernah menuliskan apapun di origami buatannya.

Dengan hati-hati, kubuka lipatan origami abu-abuku. Aku berusaha menghentikan diri untuk tidak menduga-duga, berprasangka buruk. Aku tidak ingin perasaan2 itu tambah menghantuiku.

Sret…

Benar. Di balik lipatan origami abu2ku ada tulisan Dian. Aku hafal betul dengan bentuk tulisan setengah rapi-berantakan itu. Tulisan yang sedikit goyah, terlihat gemetar (mungkin dia menuliskannya dengan susah payah di ranjangnya). Pesan itu, singkat saja:

Satu tetes air mataku sempurna terjatuh dari pipiku. Biarlah, kali ini aku tak akan melarang tetesan ini mengalir. Biarlah, tetesan2 lainnya menyusul. Biarlah, kalau memang ini satu2nya cara agar aku bisa meluapkan emosiku.



“Maafkan ucapanku tempo lalu. Bukankah tak semua perasaan di hati harus terucapkan sama di lisan?”

Aku tetap diam membaca pesan Dian.

Esoknya aku pergi ke rumah sakit. Ah..aku tak peduli dengan larangan Dian untuk berhenti menjenguknya. Bagaimanapun, Dian masih kuanggap sebagai orang yang berarti dalam hidupku. Orang yang telah memberikan warna-warni origami ke dalam hatiku.

Aku tak memikirkan apa reaksi dian nanti. Mungkin nanti dia akan marah mengetahui aku tetap menjenguknya seperti saat ini. Tak apa. Aku sudah mempersiapkan hati agar lebih tabah. Toh.. dari awal yang salah aku. Aku yang tidak bias membendung rasa penasaranku terhadap pesan singkat itu. Aku hanya ingin bertanya, memastikan.

Aku melihat jam tangan di pergelanganku. Ah..masih ada 15 menit sebelum Dian masuk ke ruang operasi. Aku mengetahuinya setelah aku diberitahu lewat sms dari Tante tadi. Degup jantungku mulai berpadu dengan suara sepatu yang setengah berlariku.

Sampai di depan kamar rawat Dian aku mengetuk pelan pintunya. Mamanya Dian terlihat sumringah melihatku. “Lho, Nak Vemi! Tumben baru dating?”

Aku tersenyum semanis mungkin sambil tetap memasuki ruangan setelah dipersilahkan oleh Tante. 

“Maaf baru bias jengukin sekarang Tan.”

“Oh ya, itu Dian, sapa dulu sana. Kalian udah lama enggak ketemu kan? Tante pergi bentar deh, biar kalian bias leluasa ngobrolnya.” Aku hanya tersenyum canggung menanggapi sikap Mamanya Dian. Ini pasti hanya siasat agar aku bias leluasa mengobrol dengan Dian. Tante pasti tahu, kebohongan kecilku kemarin pasti tidak bias menutupi kalau aku ada masalah dengan Dian.

Setelah suara pintu ditutup terdengar, ruangan kini benar-benar senyap. Dian mungkin acuh dengan kehadiranku, dan aku hanya bias berdiam diri bingung hendak berkata apa. Meskipun aku tahu. Tadi, waktu aku masuk, sekilas kulihat Dian sempat melihatku dengan heran, terutama dengan kotak berukuran sedang yang kubawa sedari tadi.

“Hai.” Sapaku memecah keheningan. Dian masih saja tetap acuh dengan melihat keluar jendela. Aku menghela nafas, baiklah jika Dian masih marah karena aku melanggar larangannya, tapi kali ini aku benar2 harus dating menemuinya. Aku harus bias memastikan makud pesan tersebut, meski hatiku sudah paham benar dengannya. Ada juga pesan yang harus segera kusampaikan setelahnya.

“Aku sudah baca pesanmu di origami abu-abu2 itu Di. Dan aku juga minta maaf udah ngelanggar laranganmu buat njengukin kamu lagi.” Aku berhenti di ujung kalimatku. Menguatkan diri untuk melanjutkan berbicara.

“Kamu bilang ‘tak semua perasaan di hati harus terucapkan sama di lisan’ bukan? Aku hanya ingin tanya apa maksudnya, ingin memastikan. Aku cuma ingin memastikan kalau kamu enggak benar2 membenciku, seperti yang aku kira. Aku ingin berharap kalau itu hanya terucap di lisanmu aja, bukan dari hatimu.”

Aku kembali terdiam. Kali ini aku meletakkan kotak berukuran sedang yang kubawa sedari tadi.

“Kamu tahu? Aku berusaha membencimu karena ucapan kasarmu waktu itu. Setiap waktu, biar aku bisa nglupain kamu. Tapi, sebenci apapun kata yang keluar dari mulutku, tetap aja hatiku menolak untuk membencimu.  Karena aku tahu, hatiku terlalu penuh dengan warna2 origami buatanmu, tidak akan cukup jika ditambah untuk membencimu.

Lihat Di. Bahkan setiap kali aku membuka isi kotak ini dan melihat isinya, aku selalu teringat dengan setiap kata yang kauberikan bersama dengan origami yang kaulipat. Ya, aku selalu menyimpan setiap origami buatanmu,agar aku selalu ingat bahwa kamu yang membuat senyumku kembali lagi. Aku…”
Tenggorokanku tercekat. Mukaku mulai memanas. Mataku mulai berkaca-kaca. Tidak! Aku tidak ingin menangis! Buru2 aku menyeka mataku yang mulai berair dengan kedua tanganku. Kalau aku menangis, akan semakin sulit untuk menyampaikannya. Tangisan tidak akan menyelesaikan masalah bukan? Lagipula, aku sudah berjanji dalam hati tadi. Setelah aku menyelesaikan pesanku, aku tidak akan menangis di hadapan Dian.


Tiba-tiba suara Dian terdengar. Kali ini Dian mau melihat ke arahku. Dia bertanya dengan penuh menyelidik.

“Kenapa Ve?”

“Kenapa kamu enggak bisa benci? Padahal, aku udah berusaha membuatmu berhenti menjengukku. 

Aku enggak ingin njatuhin airmatamu lagi. Entah kenapa, setiap kali kamu tersenyum, aku selalu takut jika di belakangku nanti kamu akan nangis. Aku tau pasti Ve. Kamu enggak pernah pinter bohong. Dan, andai kau tahu, hatiku selalu kebas, seperti mau mati setiap kali membayangkannya.”

Eh?! Spontan aku memandang mata teduh Dian. Mendengarkan dengan seksama. Kali ini aku diam menyimak setiap kata2 Dian.

“Kupikir, dengan kamu membenciku, kamu bisa tersenyum tanpa tangis terpendam lagi. Kamu akan tetap tersenyum meski aku mati nanti, karena kamu enggak akan nginget orang yang mbikin kamu tersinggung kayak aku ini bukan?”

Dian tertawa kecil menanggapi ucapannya sendiri. Aku tahu, itu bukan tawa seperti yang biasanya. Itu bukan tawa yang mampu membuatku nyaman setiap di dekatnya. Bukan tawa yang penuh semangat, melainkan tawa yang mengguratkan tidak adanya harapan.

“Tetaplah hidup, Di. Kamu enggak boleh ndahului takdir kematianmu sendiri. Urusan kematian udah ada yang ngatur. Sekalipun ternyata kamu meninggal nanti, aku janji. Aku nggak akan nangis. Aku akan hidup untuk tersenyum setiap mengenangmu dan semua origami yang pernah kaubuat untukku.”

Kreet….

Suara pintu ruangan terbuka seiring dengan langkah2 cekatan para suster yang hendak membawa 
Dian, “Permisi, saudara Herdian, sudah waktunya memulai operasi.”

Aku tetap tersenyum kepada Dian, seolah mengisyaratkan bahwa operasinya kali ini akan baik2 saja. Mengisyaratkan pula bahwa aku dan Mamanya akan tetap menunggu dengan baik2 juga, tanpa ada desah cemas, tangis, dan yang sejenisnya.

Dian masih tetap menatap lekat diriku dan Mamanya saat ranjangnya mulai dibawa keluar kamar rawat. Tepat sebelum dia menghilang dari balik pintu, Dian balas tersenyum kepadaku. ‘Aku juga akan baik2 saja’ mungkin itu arti dari sorot mata yang ia pancarkan. Kami tak memerlukan kata-kata yang rumit untuk bisa memahami, mengerti maksud satu sama lain seperti saat ini. 

Aku menghela nafas. Tidak! Bukan untuk mengeluh dengan takdir yang menimpa, baik untukku, Tante, maupun Dian. Aku ingin menghela nafas lega karena Dia sudah berkenan memberikan takdir terbaik untukku dengan mempertemukan Dian di pagi itu.

Meski aku tidak tahu dengan akhir takdir ini, aku masih bersyukur sempat mengenal senyum, tawa dan semua origami Dian. Aku sempat merasakan senyum yang lama menghilang sejak Papa meninggal, sejak warna2 origami masuk ke dalam hidupku.

Maka, untuk takdir selanjutnya, kami akan tetap serahkan semuanya kepadaMu. Hanya Engkaulah yang tahu takdir terbaik yang akan kami terima. Entah nantinya Engkau berkenan mempertemukan kami dengan Dian atau tidak, itu tetap terserah padaMu. Kami akan berusaha menerima dan mengenang takdir ini dengan senyuman. Ah..mungkin tepatnya aku.




















































































               












0 komentar:

Posting Komentar